Abdul Kadir Ibrahim (akrab disapa AMb) lahir di Kelarik Ulu, Bunguran Barat, Natuna, Kepulauan Riau, pada 4 Juni 1966. Pria alumnus Fakultas Tarbiah, IAIN Susqa, Pekanbaru ini, bersama beberapa sastrawan lain, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Rida K. Liamsi, Ibrahim Sattah, Junus, Hoesnizar Hood, dan Leon Agusta, pernah mencecap pergulatan kolektif di Bumi Lancang Kuning. Salah satu ciri paling menonjol pada karya-karya Akib, yang sekaligus menjadi pembeda dengan karya penyair Riau lainnya adalah terletak pada intensitasnya menggali dan memadu padankan ungkapan Melayu yang lugas dengan model puitisasi ayat-ayat Allah di dalam Alquran.
Hasilnya, karya-karya Akib tidak terkesan berbelit dan berpanjang-panjang untuk menyatakan sesuatu, tetapi langsung menghentak, kaya rasa, suasana, dan nuansa, seperti tampak pada salidi satu sajaknya, “Kekuasaan Neraka”, berikut ini.
Kekuasaan Neraka
zaman tercurah airmata dan darah keinginan tamak
keras legam
menyihir rindu pasting kelat racun nyawa semurah
antah
kemaruk hidup menyangkul luka zuriat dunia
meniti bala peradaban cabik koyak
gemerentam meriam bom
panas nuklir ludah
kekuasaan
Amerika josh to bush
sekutu Barat jahanam
ambur demokrasi hak azasi
sesungguhnya jala-jaring iblis dajjal
Iraq Iran Libya Palestina Pakistan Indonesia negara islam sedunia bilapun nerakalah! Amerika punya surga.
Adapun makna yang tersirat di dalam puisi yang ditulis Akib ini yaitu beliau menceritakan tentang betapa kejamnya saat dimasa penjajahan dulu. Banyak sekali siksaan yang mereka rasakan rasa lapar yang tak habisnya, luka di sekujur tubuh, dan berbagai luka dan panas nuklir yang mereka rasakan seperti panasnya api neraka.
Bahkan sudah tidak ada lagi air mata untuk menangisi kesengsaraan yang seperti neraka yang mereka rasakan. Mereka semua disiksa dengan begitu kejam. Dengan banyaknya senjata yang menimbulkan luka di seluruh tubuh mereka sehingga tubuh itu merasakan dicabik dan dikoyak dengan begitu ganasnya. Mereka seperti merasakan neraka dengan banyaknya kekejaman yang tidak bisa mereka lawan. Seperti bom yang jatuh layaknya hujan merobek dan menghancurkan tubuh mereka semua.
Puisi yang ditulis oleh Akib ini tidak berhenti hanya pada bentuk, kata-kata dan ungkapan semata, tetapi juga berlanjut pada makna, nilai dan emosi yang menghujan kalbu pembaca. Perpaduan ini niscaya merupakan kejelian Akib memaknai korelasi alam Melayu dengan ranah spritualitas Islam yang menjadi dasar pijak puak Melayu.
Kekhasan pencarian Akib lebih lengkap lagi lantaran ia menulis langsung sebagian sajak-sajaknya dengan aksara Arab-Melayu yang dikenal dengan “Arab Gundul” atau “Arab Pegon”. Aksara ini, sedari dulu menjadi media lontaran kalam bagi masyarakat Melayu.***
Komentar