Natuna : Ada yang kian retak di tubuh negeri laut sakti rantau bertuah ini. Ombak masih bersahut di bibir pantai, layar kapal masih terbentang di cakrawala, namun gelombang ketamakan dan ketidakpercayaan perlahan menenggelamkan nurani para pemimpin negeri. Yang dahulu berjanji menakhodai bahtera rakyat, kini justru sibuk memperkaya perahu sendiri. Dalam budaya Melayu kita ada pesan bijak,
“Kalau tak tahu di untung, karam di tengah lautan. Kalau tamak menguasai diri, hilanglah akal dan budi.”
Begitulah yang kini terjadi. Ketamakan menjelma menjadi panglima, dan rasa percaya yang dulu jadi tali pengikat antara pemimpin dan media kini putus dihempas badai kepentingan. Sementara rakyat di dermaga hanya bisa menatap nanar, melihat pemimpinnya kian jauh berlayar tanpa arah, dengan kompas moral yang telah rusak.
Kekuasaan yang seharusnya menyejahterakan, kini menjadi panggung perebutan. Jabatan berubah jadi pusaka, bukan lagi amanah. Setiap kritik dianggap duri, setiap perbedaan pandangan dicurigai sebagai perlawanan. Padahal, seperti kata pepatah Melayu,
“Bila raja adil, rakyat pun tenteram; bila raja tamak, negeri pun padam.”
Laut yang membesarkan negeri ini mengajarkan kejujuran, ombak tak pernah berbohong pada arah angin. Tapi manusia, terutama yang telah lama mabuk kuasa, sering membohongi dirinya sendiri.
Mereka lupa bahwa kekuasaan tanpa kepercayaan hanyalah singgasana tanpa dasar, dan jabatan tanpa nurani hanyalah bayang-bayang kehormatan yang palsu.
Rakyat boleh diam, tapi tulisan jurnalis takkan bisa dihentikan, mereka bukan batu.
Diam bukan berarti tunduk, melainkan menunggu waktu, waktu di mana gelombang kebenaran akan datang menyapu bersih kemunafikan.
Dan ketika itu tiba, sejarah akan mencatat siapa yang menjadi pelita dan siapa yang memilih menjadi bara yang membakar diri sendiri.
“Takkan hilang bisa kalau tak meneguk racun, takkan karam perahu kalau nahkoda berilmu.”
Maka berhentilah menebar curiga pada rakyat dan para jurnalis sendiri. Bangun kembali jembatan kepercayaan yang telah runtuh. Sebab negeri laut sakti rantau bertuah ini bukan milik segelintir orang, melainkan warisan bersama yang harus dijaga dengan kejujuran, kebijaksanaan, dan kasih pada tanah tumpah darahnya.
Sebab jika nurani mati di dada seorang pemimpin, maka karam pulalah negeri yang dipimpinnya, bukan karena badai dari luar, tapi karena gelombang tamak dari dalam dirinya sendiri.***





Komentar