Bagi penduduk di kepulauan Natuna, juga di seluruh wilayah Kepulauan Riau, tanaman kelapa bukanlah tanaman asing. Tanaman ini kemudian menjadi salah satu sumber utama dari hasil perkebunan rakyat yang sudah berlangsung dari sejak zaman dahulu. Sebagaimana dijelaskan, penduduk telah lama memanfaatkan kelapa baik sebagai tanaman produksi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga atau pun tanaman perkebunan. Khusus untuk tanaman yang dijadikan sebagai perkebunan dengan jumlah produksi yang besar, ini semua dimulai ketika didirikannya perusahan Moluksche Handelsvereniging di pulau Tallise dan Kikabohutan oleh Belanda pada 1880, di daerah Minahasa sana. Perkebunan ini kemudian dianggap sebagai cikal bakal berkembangnya kebun-kebun kelapa penduduk di seluruh wilayah nusantara. Tidak saja di daerah yang berpenduduk padat, akan tetapi juga sampai pada wilayah-wilayah berpenduduk jarang. Kebun kelapa menjadi pilihan utama sebagai mata pencaharian penduduk.
Kebun kelapa di daerah Kepulauan Natuna, juga demikian. Selain sudah dijadikan oleh penduduk sebagai sumber utama dalam mendapatkan Rupiah, juga sebagai ciri khas sosial yang dapat membanggakan. Pasalnya, memiliki kebun kelapa bagi orang kampung, akan dianggap sebagai “orang kaya”. Malah dengan memiliki kebun kelapa, orang kampung yang memiliki kebutuhan mendesak, mempunyai nilai tawar yang tinggi.
Untuk menyekolahkan anak misalnya, pemilik kebun bisa berunding dengan pembeli buah kelapa untuk mengeluarkan sejumlah Rupiah terlebih dahulu sebelum dilakukan panen besar. Rupiah tersebut dapat digunakan untuk menutupi kebutuhan yang ada. Namun seiring dengan berjalannya waktu terdapat beberapa catatan penting yang perlu diketengahkan pada kita semua. Catatan tersebut berpangkal dari kian menyusutnya hasil kebun kelapa penduduk yang ada di Kabupaten Natuna. Kondisi ini paling tidak dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya:
Jumlah Lahan Perkebunan Kelapa Terus Menyusut.
Sejauh perkembangan Kabupaten Natuna sebagai daerah otonom, memang telah banyak perubahan terjadi. Perubahan tersebut berkait kelindan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang selalu bergerak positif, sehingga dapat diasumsikan bahwa bertambah jugalah tingkat kesejahteraan penduduk.
Pertambahan tingkat kesejahteraan penduduk ini, di satu sisi menyebabkan meningkatnya kemampuan untuk membangun rumah baru, membeli lahan perkebunan baru untuk dialihfungsikan menjadi kawasan pemukiman, serta hal-hal lainnya yang mengarahkan beralihnya fungsi kebun kelapa menjadi sub sektor ekonomi lainnya.
Sejak 2020, penurunan jumlah luasan lahan perkebunan kelapa di Kabupaten Natuna terjadi sangat cepat. Sebagaimana disampaikan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Natuna, penurunan jumlah lahan perkebunan kelapa selalu berpariasi. Jumlah luasan area kebun kelapa di Kabunaten Natuna adalah 12.566 Ha (2020), lalu menyusut menjadi 11.409 Ha (2021), dan terus menyusut menjadi 9.716 Ha (2022), dan sampailah pada angka 9.165 Ha (2023).
Dari 2020 ke 2021, penyusutan jumlah luasan kebun kelapa mencapai 1.157 Ha. Pada 2021 ke 2022, penyusutan jumlah luasan kebun kelapa mencapai 1.693 Ha. Dan dari 2022-2023, penyusutan jumlah luasan kebun kelapa mencapai 551 Ha.
Tata Kelola Perkebunan Kelapa Kurang Sexy
Melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025-2029, kelapa memang belum mendapatkan perhatian yang maksimal dari pemerintah, kendati sebenarnya masuk dalam program hilirisasi prioritas. Kelapa masih berada di urutan terakhir produk perkebunan yang akan dilakukan hilirisasi. Ini karena sumbangsih kelapa terhadap produk nasional tidak sebanding dengan kelapa sawit. Kelapa hanya 32%, sementara kelapa sawit mencapai 62%.
Jika diurutkan, prioritas hilirasasi hasil perkebunan nasional ada kelapa sawit, karet, kopi, tebu dan kelapa. Sementara untuk cengkeh, sebagaimana tersebar luas di wilayah Kabupaten Natuna, di tingkat nasional justru tidak masuk kategori hilirisasi. Itulah sebabnya perlu diperhatikan betapa kelapa yang ada ini justru di tingkat nasional memainkan peran yang tidak sedikit bagi peningkatan ekonomi bangsa. Namun sayangnya, aspek regulasi tata kelola perkebunan kelapa masih belum tergarap secara maksimal. Padahal untuk wilayah Kabupaten Natuna, kelapa menjadi ujung tombak bergeraknya ekonomi penduduk tempatan. “Di lapangan pengaturan tersebut masih menimbulkan beberapa kendala dan permasalahan dalam implementasinya karena masih adanya ketidakpastian hukum, kerancuan dan multitafsir bagi para perusahaan, Gubernur dan Bupati/Walikota serta pemangku kepentingan lainnya,” (Laporan Akhir Analisis dan Evaluasi Hukum terkait Tata Kelola Perkebunan, 2020:19). Kelapa masih menjadi the second policy dari tata kelola pembangunan nasional dan daerah.
Kebijakan tata kelola kelapa di daerah atau pun nasional tidak sebanding dengan adanya kebijakan yang serba kelautan. Pengembangan ekonomi ditetapkan dalam konsep ekonomi biru, yang di dalamnya memuat sederetan kebijakan bernuansa “amis ikan”. Sampai-sampai pariwisata pun harus bergerak ke arah ekonomi biru yang sejatinya kerap bertolak belakang dengan potensi unggulan daerah, yaitu pertambangan, pertanian, perkebunan, peternakan dan jasa.
Di lain kesempatan, peran serta pemerintah daerah belum menunjukkan adanya kemampuan untuk menyusun strategi peningkatan baik dari sisi luas lahan perkebunan kelapa atau pun dari sisi hasil panen. Perkebunan kelapa masih bergerak dalam fase perkebunan tradisional. Belum memanfaatkan teknologi dari proses hulu ke hilir dalam perkebunan kelapa rakyat. Hal ini menjadikan tingkat produksi masih kalah dari kebutuhan pasar domestik. Parahnya lagi, sejak 2020 sampai 2024, penulis tidak menemukan peraturan kepala daerah yang mengatur secara spesifik mengenai tata kelola perkebunan kelapa di Kabupaten Natuna.
Kebijakan perkebunan kelapa di Kabupaten Natuna masih belum mampu mengatasi masalah-masalah penting, yang oleh Zainal Mahmud (2008:279) disebutkan ada 1) pola pengusahaan kebun kelapa yang masih bersifat monokultur, belum polikultur yang memanfaatkan teknologi. 2) pengolahan hasil kebun kelapa rakyat belum maksimal dari sisi SDM, infrastruktur, kelembagaan penunjang. Khusus kelembagaan di sini adalah adanya lembaga yang bertugas dalam mendampingi petani kelapa pada proses pembibitan, perawatan, pengolahan serta permodalan. Selama ini, para pemilik kebun kelapa tidak memiliki akses terhadap lembaga-lembaga yang disebutkan di atas. Seharusnya seluruh pihak yang terlibat dalam kebijakan perkebunan kelapa rakyat atau industri di Kabupaten Natuna mampu mewujudkan tata kelola perkebunan kelapa secara inklusif.
Beruntungnya, baru pada perumusan RPJMD Kabupaten Natuna 2025-2029, terdapat angin segar dari kepala daerah terpilih bagi perkebunan kelapa di tingkat lokal, yaitu perumusan program prioritas di sektor pertanian berbasis komoditas daerah, yang salah satunya adalah Bupati akan memberikan bantuan 5.000 bibit kelapa per tahun kepada penduduk.
Mudah-mudahan dari kebijakan ini kelak, akan muncul pula kebijakan lainnya berupa perumusan grand design pengembangan perkebunan kelapa di Kabupaten Natuna dalam jangka menengah dan panjang, sehingga potensi kelapa yang besar dapat bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan penduduk secara umum.***
Oleh :Ellyzan Katan, PNS di Barenlitbangda Kab. Natuna. Opini ini merupakan pendapat pribadi. Tidak ada kaitannya dengan Barenlitbangda Kab. Natuna.
Komentar