Natuna _ ranaipos.com (RP) : Kita semua tahu, bahwa pandemi Covid-19 tidak hanya menimbulkan krisis kesehatan, sosial dan politik, namun juga berimbas kepada sektor perekonomian. Krisis ekonomi menjadi salah satu momok menakutkan bagi setiap negara, khususnya bagi masyarakat yang tinggal didalamnya.
Sebagai daerah maritim yang terletak di ujung utara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), tak luput dari amukan wabah virus corona. Dari data yang berhasil dihimpun per Sabtu 2 Oktober 2021, kasus positif Covid-19 di Kabupaten Natuna menyentuh angka 2.449 jiwa, dengan 41 kasus kematian.
Tingginya kasus positif Covid-19 di Kabupaten Natuna, mengakibatkan Pemerintah Daerah setempat menjadikan penanganan wabah virus corona, sebagai salah satu fokus kegiatan di beberapa Instansi. Banyak kegiatan dialihkan untuk penanganan Covid-19. Tak tanggung-tanggung, demi melawan serangan salah satu virus mematikan tersebut, Pemerintah Daerah telah menggelontorkan anggaran sebesar Rp 30 miliar, dari APBD Natuna tahun anggaran 2021.
Angka yang sangat fantastis itu, tentu telah menyedot sebagian besar keuangan daerah. Sebagai imbasnya, sebagian besar kegiatan rutinan yang selama ini mampu menopang perekonomian masyarakat setempat, terhenti.
*Pandemi Renggut Pendapatan Pemilik Kantin Sekolah*
Mungkin tak pernah terlintas dibenak Fitri (25) sebelumnya, harus kehilangan mata pencaharian yang telah ia geluti selama 3 tahun. Betapa tidak, usaha yang mampu menopang hidup keluarganya selama ini, harus rela ia lepaskan karena aturan Pemerintah.
Fitri merupakan salah seorang Istri tangguh, yang memiliki dua orang anak. Dalam kesehariannya, Fitri membuka sebuah kantin di salah satu Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) di Kelurahan Bandarsyah, Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Namun semenjak pandemi Corona Virus Disaese 2019 (Covid-19) melanda, ia harus rela gulung tikar, lantaran Pemerintah tak lagi memberi izin untuk ia berjualan di sekolah.
Dengan dalih mengantisipasi penyebaran virus corona, Pemerintah dengan berat hati harus “merenggut” pendapatan seluruh pemilik usaha kantin yang buka di area sekolah, baik ditingkat PAUD, SD, SLTP, SLTA hingga ketingkat Perguruan Tinggi.
“Semenjak virus corona mewabah di akhir tahun 2020, kami sudah tidak bisa lagi berjualan disekolah,” ucap Fitri, saat ditemui awak media di kediamannya, di Dusun Meso, Desa Batu Gajah, Kecamatan Bunguran Timur, pada Sabtu (02/09/2021) siang.
Fitri menyebutkan, bahwa hasil dari berjualan makanan dan minuman di kantin sekolah, dapat membantu mencukupi kebutuhan keluarganya. Sebab, kata dia, suaminya hanya bekerja sebagai buruh serabutan, yang memiliki penghasilan tak menentu.
Namun semenjak usahanya tak lagi berjalan, ia tak mampu lagi membantu suaminya untuk mencari nafkah bagi keluarganya.
“Kadang kasihan lihat suami pontang panting bekerja sendirian. Tapi mau gimana lagi, mau membantu tak bisa lagi. Sekarang ya pasrah saja, semoga suami diberikan kesehatan dan rejeki yang cukup untuk keluarga,” keluh wanita kelahiran 1994 tersebut.
Padahal kata Fitri, saat ia masih membuka kantin, ia mampu meraup keuntungan sekitar Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu perhari. Hasil tersebut setara dengan pendapatan suaminya sebagai buruh serabutan.
Wanita berhijab itu berharap pandemi Covid-19 segera berakhir, sehingga ia dapat kembali berjualan di kantin sekolah miliknya, yang telah tutup selama 1 tahun lebih.
“Pengennya sih buka kantin lagi, tapi kita nggak tau sampai kapan pandemi ini akan berakhir,” tandas Fitri, seraya mengenang perjuangnya dalam membuka kantin 4 tahun silam.
Untuk diketahui, tutupnya kantin-kantin disekolah, diakibatkan adanya kebijakan pemberlakuan Belajar Dari Rumah (BDR) yang diterapkan oleh Pemerintah, bagi sekolah yang berada diwilayah dengan tingkat kasus Covid-19 tinggi.
*Jungkir Balik Ponidi Bertahan Hidup Ditengah Pandemi*
Sebagai buruh serabutan, Ponidi (45), memang tak menyangka jika tahun 2021 menjadi tahun tersulit baginya. Betapa tidak, jangankan untuk menggapai hidup sejahtera, untuk bertahan hidup saja rasanya amatlah sulit.
Pasalnya, Bapak tiga orang anak itu harus memutar otak lebih ekstra, agar priuk didapurnya tak terguling. Kondisi ini terjadi tatkala pandemi Covid-19 semakin mengganas di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), sejak awal 2021 hingga saat ini.
Ponidi merupakan warga yang tinggal di kawasan Pering, Kelurahan Bandarsyah, Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna. Kesehariannya, Ponidi hanya bekerja sebagai buruh bangunan, yang mengandalkan adanya proyek dari Pemerintah maupun warga berduit yang hendak membangun.
Namun, hingga bulan September 2021, proyek Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Natuna berupa padat karya, baru mulai berjalan. Delapan bulan sebelumnya, Ponidi jungkir balik mencari nafkah untuk keluarganya. Sebab kegiatan pembangunan Pemerintah yang menjadi penopang pendapatanya selama ini, mandeg lantaran Covid-19.
“Waduh, sudah lama sekali mas, saya nggak dapat garapan (pekerjaan). Proyek Pemda tak jalan, orang bangun rumah pun jarang, adapun sangat minim,” keluh Ponidi, saat ditemui dikediamannya, Sabtu (02/10/2021) pagi.
Untuk mensiasati kelangkaan pekerjaan yang terjadi, Pria berbadan kurus itu pun sering meminjam pompong (perahu motor) milik temannya, untuk memancing ikan dilaut. Pengalaman minim dibidang kenelayanan, membuat Ponidi tak pernah mendapatkan hasil tangkapan yang memuaskan. Alhasil, modalnya justru terkuras untuk operasional melaut.
Jangankan untuk dijual, terkadang untuk lauk makan bagi seluruh keluargnya pun, tidak cukup.
“Pernah juga dapat agak banyak, tapi penjualannya susah, soalnya musim susah duit ini, orang-orang banyak berhemat,” ujar Ponidi, seraya menggelengkan kepala.
Pandemi juga telah membuyarkan cita-cita putri sulungnya, untuk melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi. Lagi-lagi masalah biaya, memaksa Ponidi harus mengubur mimpi buah hatinya, untuk mengenyam pendidikan dibangku kuliahan.
“Sudah coba tanya-tanya ke STAI (Sekolah Tinggi Agama Islam, red), tapi kami tak mampu untuk membayar uang pendaftarannya. Akhirnya tidak jadi, sekarang dia (putri sulungnya, red) nganggur,” ucapnya, seraya menyeruput kopi.
Sementara itu Soni, warga Desa Limau Manis, Kecamatan Bunguran Timur Laut, juga mengaku selama pandemi seperti saat ini, pendapatannya melorot tajam. Sebagai pengusaha pemecah batu pondasi dan koral, barang dagangannya jarang sekali laku.
Bahkan kata dia, jangankan untuk mencari untung, untuk mengembalikan modal operasionalnya saja, acap kali keteteran. Hal ini dipicu akibat tidak adanya proyek yang membutuhkan material, seperti batu dan koral.
“Karena mecah batu itu kan butuh kayu bakar, kayunya itu beli. Belum ransum kita selama bekerja, karena kan lokasinya di gunung, jauh dari rumah. Minyak motor lagi untuk bolak balik ke lokasi pecah batu. Makanya modalnya macet disitu, mas,” tutur Son (sapaan akrabnya).
Kini Son, bersama pengusaha batu lainnya hanya bisa pasrah, mengenang nasib usaha mereka yang terus tergilas oleh situasi pandemi.
“Ya mau gimana lagi, pasrah aja kita sekarang ini, pandai-pandai kita lah bertahan hidup,” tandas Son, sambil menghisap rokok dalam-dalam.
*Pecat Karyawan Demi Mempertahankan Usaha*
Berat rasanya, jika harus kehilangan lima orang karyawan sekaligus. Namun itulah langkah yang harus ditempuh Jumardi (40), seorang pengusaha pengupasan kepiting rajungan asal Dusun Sebala, Desa Batu Gajah, Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna.
Bukan karena kerjanya yang buruk, namun pendapatan yang menurun drastis dari usahanya, menjadi alasan Jumardi untuk memberhentikan karyawan setianya.
Penyebabnya, kata Jumardi, tidak lancarnya jadwal penerbangan pesawat dari dan ke Natuna. Sehingga proses pengiriman daging kepiting rajungan keluar daerah menjadi terhambat.
Ketidak lancaran arus transportasi udara dipicu adanya kebijakan Pemerintah, yang memberlakukan karantina wilayah akibat pandemi Covid-19.
“Pengiriman menjadi susah. Sementara, daging rajungan semestinya dikirim dalam bentuk fresh,” kata Jumardi, saat ditemui ditempat pengupasan kepiting rajungan miliknya, Jum’at (01/10/2021) siang.
Sehingga, sambung Jumardi, pengiriman kepiting rajungan terpaksa harus dilakukan via tol laut (kapal), berupa bahan baku yang belum dikupas dengan keadaan beku.
Namun dari sisi ekonomi, kata dia, harga daging kepiting segar jauh lebih mahal ketimbang daging beku. Jika harga daging kepiting segar berada dikisaran Rp 200 ribu, namun untuk daging kepiting beku hanya sekitar Rp 160 ribu perkilogramnya.
Sementara untuk biaya pengiriman daging kepiting beku, ongkosnya jauh lebih mahal ketimbang daging kepiting segar. Sebab harus menyewa kontainer, yang biayanya mencapai Rp 8 juta per sekali kirim.
“Sehingga dalam sebulan itu kita hanya bisa kirim satu kali. Jadi kita kumpulkan dulu kepitingnya biar banyak, baru kita kirim sekaligus. Kalau kirim sedikit-sedikit, malah rugi kita,” terang Jumardi.
Hal itulah yang memaksa Jumardi harus mengistirahatkan lima orang karyawannya. Sebab jika tidak dilakukan, maka keuntungan yang diperoleh akan semakin menipis. Bahkan usahanya bisa terancam gulung tikar.
“Sebenarnya kasihan juga saya melihat Ibu-ibu (mantan karyawannya, red) itu, mereka sudah lama bekerja disini. Tapi ya mau gimana lagi, kalau tidak begitu saya bisa semakin rugi, bahkan bisa tutup,” pungkas Jumardi.
Ia berharap kondisi ini segera berlalu. Agar usahanya dapat kembali berjaya, sehingga mampu untuk merangkul kembali mantan karyawannya yang telah lama menganggur.
*Cerita Nelayan Pesisir Dimasa Pandemi, Gali Lubang Tutup Lubang*
Pandemi Covid-19 yang melanda Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), ternyata tak hanya berdampak bagi para buruh maupun pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) saja, namun juga sangat dirasakan oleh para nelayan tradisional.
Hasnan (45), warga asal Air Lakon, Kelurahan Ranai, Kecamatan Bunguran Timur itu, mengaku selama pandemi, pendapatannya selalu menurun. Pasalnya, kata Hasnan, pandemi membuat negara Singapura melakukan lockdown. Sehingga kapal penyuplai ikan dari Indonesia (Kepri) tak lagi dapat bersandar di pelabuhan negeri Singa tersebut.
Dampaknya, harga ikan merosot tajam. Sebab, para pengepul tidak berani lagi membeli ikan dari nelayan dengan harga normal, seperti sebelum pandemi.
“Harga ikan dari penampung atau tauke, turun drastis,” kata Hasnan, saat ditemui awak media di Pelabuhan Pering, Kelurahan Bandarsyah, Kecamatan Bunguran Timur, Kamis (30/09/2021) kemarin.
Bapak tiga orang anak itu menjelaskan, sebelumnya harga ikan kualitas ekspor seperti kerapu, kerapu putih, mangas, kerisi bali, sonok maupun kakap merah, berkisar antara Rp 60 ribu hingga Rp 70 ribu perkilogramnya. Namun semenjak pandemi, para pengepul hanya sanggup membeli dengan harga Rp 30 ribu perkilogramnya.
Jelas, anjloknya harga ikan membuat para nelayan terpukul. Sebab penghasilan mereka otomatis menurun drastis.
Padahal, sambung Hasnan, sebelumnya dirinya dapat mengantongi uang sekitar Rp 600 ribu hingga Rp 1 juta, setiap pergi melaut (per lima hari). Namun kini hanya mampu membawa pulang sekitar Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu.
“Sudah lah pendapatan berkurang, tapi kebutuhan hidup sehari-hari dan kebutuhan operasional untuk melaut seperti minyak, ransum dan lainnya tidak ada penurunan, bahkan cenderung naik,” keluh Hasnan.
Bahkan, lelaki yang sudah 30 tahun menjadi seorang nelayan itu menyebutkan, tidak jarang dirinya berhutang kepada tauke yang membeli hasil tangkapannya selama ini, demi memenuhi kebutuhan sehari-hari hidupnya bersama keluarga.
“Dengan adanya kondisi ini, mau tidak mau harus sering kasbon ke tauke. Nanti pinjaman akan dipotong dari hasil penjualan ikan. Kalau dibilang berat ya berat, tapi ya itulah kenyataannya,” ucap Hasnan.
“Ya pokoknya gali lubang tutup lubang lah, dapat uang untuk bayar hutang, nanti hutang lagi untuk memenuhi kebutuhan,” katanya lagi, sambil menggaruk-garuk kepala.
*Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Menjadi Fokus Pemda Natuna*
Bupati Natuna, Wan Siswandi, juga mengakui, bahwa pandemi Covid-19 telah memporak-porandakan sendi-sendi perekonomian di daerah perbatasan, khususnya Natuna. Oleh sebab itu, di tahun anggaran 2021, pihaknya telah memerintahkan seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD), agar fokus untuk melakukan pemulihan ekonomi.
Kata Wan Siswandi, kebijakan dalam rangka memulihkan perekonomian, harus menitik beratkan pada penanggulangan kemiskinan, peningkatan sumberdaya manusia, ekonomi kerakyatan, tata kelola pemerintahan serta peningkatan pelayanan publik.
“Jadi sekarang kita fokus penguatan pemulihan ekonomi dan dampak sosial penanggulangan kemiskinan, serta kualitas sumber daya manusia. Itu kira-kira yang paling penting,‘’ kata Wan Siswandi kapada sejumlah awak media, di Gedung DPRD Natuna, Jalan Yos Sudarso, Batu Hitam, Kecamatan Bunguran Timur, pada Rabu (30/09/2021) kemarin.
Mantan Sekda Natuna itu menjelaskan, Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna telah membuat program Padat Karya, dan telah disetujui oleh pihak DPRD setempat. Program tersebut diantaranya melalui proyek pembangunan sekolah, jalan, irigasi, semenisasi serta kegiatan fisik lainnya.
Program ini, sambung dia, sangat perlu dilakukan. Karena dinilai dapat memberdayakan masyarakat daerah, dalam pekerjaan proyek. Program ini juga menjadi sumber pendapatan baru bagi masyarakat, khususnya di tengah pandemi Covid-19, yang telah merenggut pendapatan masyarakat.
“Karena masyarakat sekarang ini butuh pekerjaan dan butuh income,” kata pejabat asal Desa Sungai Ulu, Kecamatan Bunguran Timur tersebut.
Selain itu, Pemerintah Daerah juga telah mengucurkan bantuan bagi para pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), khususnya bagi para pedagang yang omzetnya ikut tergerus selama pandemi.
“Meskipun Pemerintah Pusat sudah memberikan bantuan serupa, namun kita juga memberikan bantuan khususnya kepada para pedagang pasar, pedagang asongan, maupun kaki lima. Karena mereka yang sangat terdampak,” imbuh politisi PDI-P tersebut.
Diakui Wan Siswandi, bahwa APBD Natuna tahun anggaran 2021 mengalami penurunan. Sehingga tidak ada kepastian dalam pelaksanaan program kegiatan, yang sudah ditetapkan dan dianggarkan. Karena sebagian mata anggaran banyak yang dipangkas dan dialihkan untuk kepentingan penanganan Covid-19.
“Sehingga banyak program yang tidak terlaksana,” beber orang nomor satu di Bumi Laut Sakti Rantau Bertuah itu.
Memang tidak bisa dipungkiri, kegiatan melalui mata anggaran Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna, menjadi sumber utama perputaran ekonomi masyarakat di daerah berjuluk Mutiara Diujung Utara Indonesia tersebut. Seperti proyek pembangunan infrastruktur umum, padat karya, kegiatan pemberdayaan masyarakat maupun kegiatan lain yang bisa membuat uang beredar di tengah masyarakat.
Minimnya Industri, menjadikan sebagian besar masyarakat bertumpu pada kegiatan yang bersumber dari ABPD Natuna. Sehingga jika keuangan daerah terganggu akibat pandemi, sudah pasti sumber ekonomi masyarakat menjadi sasarannya.
Akibatnya selama pandemi berlangsung, angka kemiskinan di Bumi Laut Sakti Rantau Bertuah itu meningkat, selaras dengan tingginya angka pengangguran. Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Natuna mencatat, angka kemiskinan di Daerah berpenduduk sekitar 81 ribu jiwa itu, naik 0,01 persen ditahun 2020. Hal ini diprediksi bakal naik kembali di tahun 2021, jika pandemi tak segera berakhir.
Memang Pemerintah telah melakukan berbagai upaya demi memulihkan perekonomian masyarakat, melalui program stimulus ekonomi. Misalnya dengan memberikan berbagai bantuan seperti Bantuan Sosial Tunai (BST), Bantuan Sembako, Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD), Kartu Prakerja, Listrik Gratis, Subsidi Gaji Karyawan hingga BLT Usaha Mikro Kecil. Namun kenyataannya upaya tersebut, belum mampu mengembalikan kedigdayaan ekonomi masyarakat yang tergilas oleh pandemi Covid-19. Khususnya masyarakat yang tinggal diwilayah pesisir seperti di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepri.*(red)
Komentar