Natuna _ www.ranaipos.com : Marzuki, SH, Ketua Komisi II DPRD Natuna menegaskan dirinya tidak mengetahui secara resmi mengenai pengusulan revisi penambahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tambang untuk Minerba di Kabupaten Natuna berdasarkan Surat Bupati Natuna Nomor 650/PUPR/282/X/2021, Tanggal 07 Oktober 2021 Tentang Permohonan Substansi Ranperda RTRW Kabupaten Natuna Tahun 2021-2041.
Dalam hal ini, Marzuki, SH selaku Ketua Pansus RTRW pada tahun 2020 lalu tidak mengetahui akan adanya pengajuan surat revisi Ranperda RTRW penambahan wilayah tambang Minerba di Kabupaten Natuna dengan skala besar.
“Suratnya tidak mengetahui tapi karena hadir kemarin di lintas sektor di Jakarta pada bulan September 2021 kemarin baru tahu ada perubahan tersebut,” ujar Marzuki politisi partai Hanura kepada media ini. Selasa (24/5) pagi di ruang kerjanya.
Dirinya juga menyebutkan bahwa saat mengikuti lintas sektor di Jakarta baru tahu adanya penambahan wilayah tambang di Natuna, pemanfaatan pulau kecil menjadi destinasi wisata dan Kawasan pertahanan.
Lebih lanjut Marzuki menjelaskan bahwa sebelumnya juga ada Surat Bupati Natuna Nomor 650/PUPR/107/2021 yang dikeluarkan pada tanggal 05 Mei 2021 sama sekali tidak diketahui, ia bilang, surat tersebut sampai sekarang tidak pernah dilihat dan tidak tahu isinya.
Lanjut Marzuki, seharusnya kalau surat tersebut masuk melalui Ketua DPRD Natuna, tembusannya harus kepada Anggota DPRD lainya dan saya selaku Ketua Pansus RTRW tahun 2020 lalu pun tidak pernah menerimanya.
“Kalau kami tidak tahu, karena tidak ada surat kami terima tentang pengajuan revisi ranperda RTRW, juga tidak pernah rapat dan duduk bersama,” ucap Marzuki.
Lebih lanjut, terkait “Surat Sakti” Bupati Natuna Nomor 650/PUPR/282/X/2021, Tanggal 07 Oktober 2021 Tentang Permohonan Substansi Ranperda RTRW Kabupaten Natuna Tahun 2021-2041 yang menjadi pintu masuk bagi para pengusaha tambang pasir kuarsa.
Berdasarkan dari aplikasi MoMi kementrian ESDM sudah mencapai 19 perusahaan tambang pasir dengan Perizinan WIUP dan ada beberapa perusahan yang sudah mengantongi IUP.
Lanjutnya saat itu, sebagai Ketua Pansus tidak pernah membahas tentang rencana wilayah tambang skala besar. Katanya, tim pansus hanya membahas tentang wilayah tambang rakyat dengan skala kecil .
“Mengenai pertambangan rakyat yang kita bahas untuk memenuhi kebutuhan daerah Natuna,” ungkap Marzuki.
Dijelaskan Marzuki, pada Bulan Mei tahun 2020 lalu, Ia sebagai ketua pansus melakukan perubahan RTRW karena sudah terlalu lama, kemudian ada usulan dari Kemendagri untuk menyelaraskan RTRW mulai dari tingkat Kabupaten, Provinsi hingga pusat dari tahun 2020-2040.
“Kita harus mengakomidir ini, jangan sampai menurut Kemendagri,pusat menginginkan daerah pertahanan, namun Natuna tidak membuat daerah pertahanan nya,Perubahan itu harus kita selaraskan,” tuturnya.
Dilangsir dari koranperbatasan.com, Selasa (24/05) merilis masyarakat Natuna, melalui Aliansi Natuna Menggugat juga meminta kepada Bupati Kabupaten Natuna, Wan Siswandi dan Ketua DPRD Natuna, Daeng Amhar mencabut kembali Surat Bupati Natuna Nomor 650/PUPR/107/2021 yang dikeluarkan pada tanggal 05 Mei 2021.
Pemintaan pencabutan Surat Tentang Evaluasi Revisi RTRW Kabupaten Natuna ke Gubernur Provinsi Kepulauan Riau tersebut dianggap telah membuka ruang masuknya para pengusaha tambang pasir kwarsa yang saat ini menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat dan dinilai merusak alam.
“Atas dasar apa mereka menambah dan atau merubahnya?, sehingga tidak ada lagi ruang bagi masyarakat, ini sama saja dengan merampas hak-hak masyarakat,” ungkap Wan Sofian, Koordinator Aliansi Kamis, 19 Mei 2022.
Peta pola ruang RTRW perubahan penambahan kawasan pertambangan seluas 782 hektar di Kecamatan Bunguran Utara yang sebelumnya adalah kawasan perkebunan.
Kata Wan Sofian perampasan hak masyarakat melalui surat usulan tersebut tampak jelas dalam perubahan Perda RTRW Kabupaten Natuna tahun 2021 setelah direvisi. Pasalnya beberapa kawasan perkebunan dan permukiman rakyat telah berubah fungsi menjadi kawasan pertambangan mineral dan batubara.
“Pada Perda sebelumnya itu kan kawasan pekebunan dan permukiman rakyat. Kalau tidak dirubah dan atau ditambah jadi kawasan pertambangan mana bisa pengusaha tambang masuk dan mana mungkin pemerintah provinsi dan pusat mengeluarkan izin tambang itu,” pungkasnya.
Menurutnya, hampir seluruh kawasan perkebunan dan permukiman rakyat di Pulau Bunguran Besar yang terdiri dari Kecamatan Bunguran Utara, Bunguran Timur Laut, Bunguran Timur, Bunguran Tengah dan Bunguran Selatan telah berubah fungsi menjadi kawasan pertambangan mineral dan batubara.
“Misalnya di Kecamatan Bunguran Utara seluas 182 hektar yang dulunya adalah kawasan perkebunan berubah fungsi menjadi kawasan pertambangan mineral dan batubara. Kemudian di Kecamatan Bunguran Selatan seluas 1118,38 hektar dulunya adalah kawasan perkebunan, berubah fungsi menjadi kawasan pertambangan mineral dan batubara,” terang Wan Sofian.
Wan Sofian menagaskan, segelintir fakta dalam surat usulan yang disampaikannya melalui media ini, baru hanya sebatas sebatas kawasan perkebunan di dua kecamatan saja, belum termasuk kawasan permukiman dan kawasan hutan yang juga ikut berubah fungsi secara tiba-tiba.
“Rentang waktunya sangkat singkat. Tahun 2021 berubah fungsi, tahun 2022 perusahaan tambang masuk. Artinya mereka sudah punya rencana ingin mengeruk pasir kuarsa di Pulau Bunguran Besar ini,” tegasnya.
Setelah mempelajari dampak dari pertambangan itu, sebagai Koordinator Aliansi Natuna Menggugat, Wan Sofian meminta agar Bupati Natuna secepatnya mencabut kembali Surat Nomor 650/PUPR/107/2021 yang dikeluarkan pada tanggal 05 Mei 2021 tersebut.
“Kembalikan kawasan itu pada fungsi semulanya karena itu hak masyarakat. Jika tidak segera di cabut, maka Alainsi Natuna Menggugat bersama masyarakat akan melakukan aksi menuntut semua itu,” cetusnya.*(kalit)
Komentar