Keputusan Polda Metro Jaya untuk penghentian penyelidikan atas laporan terhadap Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Hendry Ch Bangun, menjadi titik terang sekaligus titik duka dalam sejarah organisasi wartawan tertua di Indonesia. Laporan polisi No. LP/B/269/VIII/2024/SKPT/BARESKRIM POLRI, yang diajukan oleh Helmi Burman — anggota Dewan Kehormatan PWI sendiri — kini resmi tak berlanjut. Namun, luka yang ditinggalkan kasus ini akan membekas lama, bukan hanya bagi pribadi Hendry Ch Bangun, tetapi juga terhadap institusi PWI dan kepercayaan publik.
Langkah hukum yang diambil Helmi Burman sejatinya merupakan hak setiap warga negara. Namun, ketika laporan itu ditujukan kepada pucuk pimpinan organisasi oleh orang yang juga berada di dalam struktur kehormatan yang sama, maka persoalan ini tak sekadar legal, tapi menyentuh aspek etika dan integritas kelembagaan.
Dugaan penyebaran hoaks yang semula dialamatkan kepada Hendry Ch Bangun kini terbukti tak berdasar. Penghentian penyelidikan oleh aparat penegak hukum menunjukkan bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk melanjutkan proses hukum. Namun, nama baik yang sudah kadung digugat di ruang publik tidak bisa serta merta pulih begitu saja.
Dalam dunia pers, kredibilitas adalah segalanya. Dan ketika sesama insan pers saling melaporkan tanpa dasar yang kuat, maka yang tercoreng bukan hanya satu nama, melainkan seluruh institusi PWI. Kasus ini menjadi semacam “cermin retak” bagi tubuh organisasi, di mana konflik internal yang seharusnya bisa diselesaikan lewat mekanisme organisasi, malah dibawa ke ranah pidana dan publik.
Langkah Tegas dan Restoratif Ketua Umum
Ketua Umum PWI Pusat, Hendry Ch Bangun, telah menyatakan bahwa ini bukan hanya persoalan pribadi, melainkan soal marwah organisasi. Oleh karena itu, langkah lanjutan yang akan diambilnya kemungkinan besar akan meliputi dua sisi, sisi etis-organisasi dan sisi hukum.
Pertama, dari sisi organisasi, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap Dewan Kehormatan, khususnya menyangkut integritas anggotanya. Tidak menutup kemungkinan akan dilakukan sidang kehormatan terhadap Helmi Burman untuk meninjau apakah langkah pelaporan tersebut melanggar kode etik PWI. Bila terbukti merusak reputasi organisasi tanpa dasar, sanksi internal harus dijatuhkan sebagai bentuk ketegasan PWI dalam menjaga integritasnya.
Kedua, secara hukum, Hendry Ch Bangun bisa menempuh langkah balik—melaporkan balik pencemaran nama baik atau laporan palsu—sebagai bentuk pembelajaran bahwa pelaporan tanpa dasar dapat menimbulkan dampak serius, baik psikologis, sosial, maupun kelembagaan.
Namun demikian, pendekatan yang restoratif juga terbuka. Dalam dunia yang penuh polarisasi, pilihan untuk berdamai secara terhormat dan menyelamatkan wajah organisasi tetap bisa ditempuh. Tapi tentu saja, hal itu harus didahului dengan sikap terbuka, permintaan maaf, dan itikad baik dari pihak pelapor.
Luka bagi Marwah, Panggilan untuk Reformasi
Kasus ini adalah pelajaran keras bahwa PWI harus berbenah. Jika konflik internal saja tidak bisa dikelola secara elegan dan etis, bagaimana mungkin PWI bisa menjadi teladan bagi profesionalisme dan independensi pers?
Pemberhentian penyidikan ini menandai kemenangan hukum bagi Hendry Ch Bangun, namun juga memanggil seluruh elemen PWI untuk kembali ke akar jati diri: menjaga kehormatan profesi, menyelesaikan konflik dengan kepala dingin, dan membangun kepercayaan publik yang kini mulai goyah akibat luka dari dalam.
Semoga peristiwa ini menjadi pintu masuk untuk pembaruan tata kelola organisasi dan penguatan nilai-nilai etika dalam tubuh PWI. Karena ketika marwah PWI terguncang, yang turut terguncang adalah martabat pers Indonesia itu sendiri.
Tuduhan Hoaks yang Membelah PWI dan Ambisi Kekuasaan yang Mencederai Marwah Organisasi
Luka itu terus berdarah, berkembang serta merusak kepemimpinan dan memecah belah tubuh PWI dari pusat hingga ke daerah.
Yang lebih memprihatinkan, tuduhan hoaks yang tidak terbukti itu menjadi titik pangkal dari upaya sistematis untuk menggulingkan kepemimpinan yang sah, dan menggantikannya dengan kepemimpinan alternatif hasil Kongres Luar Biasa (KLB) Jakarta pada 2024 lalu, yang jelas-jelas tidak memenuhi kuorum sebagaimana diatur dalam Peraturan Dasar dan Rumah Tangga (PD/PRT) PWI.
Sosok Zulmansyah Sekedang — yang sebelumnya dikenal sebagai tokoh PWI Riau — kini tampil sebagai figur sentral di balik KLB tersebut. Dengan dukungan hanya sekitar sembilan provinsi, KLB Jakarta tidak memiliki dasar legal yang sah. Namun, hal itu tidak menghentikan ambisi politik Zulmansyah untuk mengklaim dirinya sebagai Ketua Umum PWI versi KLB, dan memaksakan legitimasi melalui langkah-langkah manipulatif di akar organisasi.
Mengacak-ngacak Struktur untuk Mencari Legitimasi
Salah satu akibat paling merusak dari dinamika ini adalah upaya sepihak yang dilakukan oleh kelompok KLB untuk membentuk kepengurusan baru di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota. Pengurus-pengurus sah yang dipilih melalui mekanisme musyawarah daerah tiba-tiba diberhentikan secara sepihak, hanya karena tidak mengakui hasil KLB. Situasi ini menimbulkan kekacauan administratif, konflik di tubuh internal PWI daerah, serta menciptakan dualisme kepemimpinan yang membingungkan anggota hingga masyarakat umum.
Tindakan membentuk “pengurus bayangan” ini adalah bentuk pembangkangan terhadap PD/PRT organisasi. Tidak hanya itu, cara-cara yang digunakan juga mencederai prinsip demokrasi, etika, dan etos profesionalisme wartawan. Ketika organisasi profesi tidak lagi dijalankan dengan dasar aturan dan nilai, maka yang lahir adalah kekacauan, dan akhirnya, hilangnya kepercayaan publik.
Kepemimpinan Terbelah, Marwah Tercoreng
Saat ini, kepemimpinan PWI berada dalam situasi krisis kepercayaan. Di satu sisi ada kepengurusan sah hasil kongres resmi, namun di sisi lain muncul struktur paralel hasil KLB yang cacat prosedur. Ketegangan ini menimbulkan kegelisahan di kalangan anggota, wartawan muda, dan pemangku kepentingan yang selama ini melihat PWI sebagai pilar independen dalam demokrasi.
Apa yang kita saksikan hari ini bukan hanya konflik personal antar elite, melainkan konflik antara kepentingan pribadi dan marwah organisasi. Ketika ambisi menjadi lebih utama daripada nilai, maka kehancuran institusi hanya tinggal menunggu waktu.
Jalan Pulang : Tegakkan Konstitusi Organisasi
Sudah saatnya PWI kembali ke jalan konstitusional. PD/PRT adalah landasan tertinggi organisasi, dan hanya lewat jalur itulah PWI bisa diselamatkan. Langkah-langkah yang menyalahi aturan harus dikoreksi, bukan dinegosiasi. Hendry Ch Bangun sebagai Ketua Umum sah, memiliki mandat dan tanggung jawab moral untuk menata kembali tubuh organisasi, melindungi struktur sah di daerah, dan menindak tegas upaya perusakan organisasi dari dalam.
Bukan tidak mungkin langkah hukum maupun etika organisasi harus ditempuh terhadap para inisiator dan pelaku perpecahan ini. PWI harus berani menegakkan aturan, bahkan jika itu berarti harus mencabut keanggotaan atau menjatuhkan sanksi kepada tokoh-tokoh senior yang tidak lagi menjunjung konstitusi organisasi.
Jangan Wariskan Organisasi yang Luka
PWI adalah rumah besar para wartawan, bukan alat politik, bukan ladang ambisi. Tuduhan hoaks yang ternyata tak berdasar seharusnya ditutup dengan refleksi, bukan dijadikan alat untuk menggulingkan kepemimpinan sah. Perpecahan ini harus dihentikan. Jika tidak, maka yang akan diwariskan bukan organisasi yang kuat, tetapi tubuh yang lemah, penuh luka, dan kehilangan makna.
Sejarah akan mencatat apakah PWI mampu keluar dari krisis ini dengan kepala tegak, atau runtuh karena ambisi buta dari segelintir orang yang mengkhianati cita-cita luhur jurnalisme Indonesia.***
Komentar