Natuna _ ranaipos.com (RP) : Baru diduga, rumpon nelayan di laut Sedanau disapu kapal nelayan dari luar daerah dan kapal nelayan lainnya. Permohonan audiensi dari ANNA (aliansi nelayan natuna) tertunda sejak sepuluh hari yang lalu, baru hari ini bisa kita laksanakan, ungkap Marzuki, SH Ketua Komisi II DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kabupaten Natuna, saat ditemui media di ruang kerjanya selesai menerima ANNA (aliansi nelayan Natuna) di ruang rapat Kantor DPRD Natuna, Selasa (11/01/2022) siang.

“Menurut Dirjen PSDKP, izin kapal 20 GT ke atas dikeluarkan oleh pusat, yang selalu saya dengar ketika bertandang ke Kementrian Kelautan dan Perikanan dan izin kapal 20 GT keatas itu biasanya selalu dilengkapi dengan alat pelacak AIS (Automatic Indentificasi System), jika kapal yang bersangkutan masuk ke zona 15 mil kebawah, maka secara otomatis terlacak oleh system atau terdeteksi, kecuali ada kapal kapal yang nakal dan mematikan AIS dan itu mereka langsung diberi sanksi,” tutur Marzuki.
Lebih lanjut dirinya menyampaikan, terkait Undang – Undang yang melegalkan kapal nelayan skala perusahaan besar yang beroperasi di wilayah WPP 711 tersebut, Pemerintah Pusat seyogyanyalah merevisi undang – undang yang dimaksud, karena selama ini pihak DPRD dan Pemda Natuna ibarat tukang cuci piring yang kotor, mereka yang memberikan izinnya dan jika ada masalah pihak DPRD dan Pemkab Natuna yang mendapatkan jeleknya.

“Hal seperti ini mestinya bisa disikapi oleh fraksi-fraksi di DPR RI, karena undang-undang ini lahir disetujui oleh legislatif (DPR RI) dan kita di daerah harus selalu menyuarakan itu, supaya ketika ada legalitas kabupaten terhadap wilayah laut dari sisi programnya bisa dimuatkan kedalam APBD kita ” terangnya lagi.
Lebih lanjut Ketua Komisi II Politisi Gerindra dari Daerah Pimelihan Wilayah III Kabupaten Natuna tersebut menyampaikan, masalahnya hari ini adalah menurut undang – undang itu kita di daerah tidak punya legalitas, kecuali ada cara sebenarnya atau solusinya, jika pengawalan pemerintah pusat dilimpahkan kepada kabupaten, tetapi dengan satu catatan, mereka (pemerintah pusat_red) menyiapkan armada pengawasnya dengan melibatkan orang daerah, atau system BKO, guna untuk mengamankan nelayan – nelayan yang ada di daerah.

“Menurutnya (Marzuki_red) selama ini masyarakat nelayan tidak mau tau regulasinya, yang mereka tau ada DPRD, ada Pemda dan disitulah tempat mereka mengadu”, cetusnya.
Menurut Marzuki, SH Ketua komisi II DPRD Natuna dari Fraksi Gerindra itu, isyue tentang WPP 711 yang akan dilelang zona tangkap itu, sebetulnya sangat merugikan nelayan daerah kita, jangankan nelayan asing, dengan nelayan dari luar daerah saja nelayan kita sangat tertinggal jauh.
Faktor utamanya adalah karena nelayan kita berprinsip menggunakan alat tangkap ramah lingkungan atau alat tangkap tradisional dan dengan kemampuan melaut paling lama 7 hari di laut, sedangkan armada nelayan industri selama berbulan-bulan di laut, dilengkapi pula dengan kapal pengangkut ikan, sehingga mereka bisa berlama lama di laut hingga satu tahun.
“Nelayan Natuna harus diberikan zona tangkap memiliki hasil ikan melimpah yang terlindungi dari penjarahan dan ekploitasi besar-besaran dari pihak industri perikanan skala besar, agar sumber daya perikanan dan ekosystem laut tidak rusak, sehingga dapat dimanfaatkan secara lestari dan berkelanjutan demi anak cucu di masa mendatang ” tutup Marzuki.*(murdifin)
Komentar