Dalam era keterbukaan informasi dan demokrasi yang sehat, relasi antara pemimpin daerah dan media bukan sekadar pelengkap, melainkan kebutuhan strategis yang mendasar. Bupati Natuna, Cen Sui Lan, sebagai figur sentral pembangunan di wilayah kepulauan strategis itu, tentu tak bisa berjalan sendiri. Namun jika hubungan dengan media lokal yang telah terverifikasi faktual dan wartawannya sudah tersertifikasi UKW Dewan Pers diabaikan, maka konsekuensinya bisa serius, baik secara politik maupun terhadap proses pembangunan Natuna sendiri.
Dampak Negatif Jika Tidak Bersinergi
Pertama, kehilangan kontrol narasi publik. Dalam dunia yang dipenuhi arus informasi dan disinformasi, hanya media profesional yang mampu menjaga kredibilitas informasi. Jika Bupati tidak menjalin hubungan baik dengan media lokal yang sah, ruang itu bisa diambil alih oleh aktor-aktor informasi tidak resmi yang lebih rentan menyebarkan hoaks, framing negatif, atau bahkan memicu ketegangan sosial.
Kedua, turunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah. Masyarakat butuh informasi akurat mengenai program-program pembangunan, penggunaan anggaran, dan arah kebijakan pemerintah. Jika media lokal yang memahami dinamika sosial dan geografis Natuna tidak dilibatkan secara aktif, maka celah komunikasi akan terjadi. Ini bisa menciptakan kesan bahwa pemerintah tertutup atau bahkan antikritik.
Ketiga, pelemahan partisipasi publik. Pembangunan daerah tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan warga. Media lokal berperan penting sebagai jembatan antara rakyat dan pemerintah. Jika jembatan itu diruntuhkan atau diabaikan, maka dialog publik akan sepi, padahal dari sanalah evaluasi, ide, dan dukungan masyarakat berasal.
Potensi Positif Jika Tetap Menutup Diri? Minim
Sulit melihat dampak positif yang berarti jika seorang pemimpin menutup diri dari media profesional. Kalaupun ada, barangkali hanyalah sesaat: menghindari kritik tajam atau pemberitaan negatif. Namun ini ilusi kenyamanan yang rapuh. Cepat atau lambat, ketertutupan akan memperburuk legitimasi dan kepercayaan publik.
Apa yang Harus Dilakukan?
Bupati Natuna mesti menyadari bahwa membangun sinergi dengan media lokal bukan soal menyenangkan wartawan, tapi bagian dari membangun sistem demokrasi lokal yang sehat. Wartawan yang telah UKW adalah jurnalis yang memahami kode etik, menjaga keberimbangan, dan bekerja dengan standar profesional. Bekerja sama dengan mereka justru memperkecil risiko misinformasi dan memperbesar dukungan publik.
Transparansi, keterbukaan akses informasi, konferensi pers berkala, dan pelibatan media lokal dalam program-program strategis daerah bisa menjadi langkah awal yang konkret. Dengan begitu, tidak hanya Bupati yang diuntungkan secara politik dan citra, tapi juga masyarakat Natuna yang lebih paham, terlibat, dan merasa memiliki arah pembangunan daerahnya.
Saat Kritik Dianggap Serangan
Dalam iklim demokrasi yang sehat, kritik adalah oksigen yang menyegarkan arah kebijakan, bukan racun yang harus dihindari. Sayangnya, di banyak daerah, termasuk sebagian wilayah kepulauan seperti Natuna, kritik media bahkan yang ditulis berdasarkan fakta dan analisis yang bertanggung jawab kerap dianggap sebagai bentuk serangan pribadi, tudingan, atau upaya menjegal pembangunan. Sebuah narasi berbahaya yang bukan hanya menyimpang, tetapi berpotensi merusak ekosistem demokrasi lokal.
Kritik Bukan Serangan
Media adalah pilar keempat demokrasi. Dalam menjalankan tugasnya, pers tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga melakukan kontrol sosial memberikan catatan, evaluasi, hingga teguran terhadap kebijakan publik yang dianggap keliru, tidak efektif, atau menyimpang dari kepentingan rakyat. Jika setiap kritik dari media diasumsikan sebagai bentuk “permusuhan” atau “penghambat pembangunan,” maka yang sesungguhnya terjadi adalah anti-transparansi yang dikemas dalam jargon pembangunan.
Apakah pembangunan hanya bisa berjalan dalam pujian? Tentu tidak. Justru pembangunan yang kokoh lahir dari proses yang terbuka terhadap kritik. Jika pemimpin hanya mau mendengar kabar baik, maka ia sedang membangun di atas ilusi, bukan realitas.
Narasi “Tidak Mendukung Pembangunan” adalah Tameng Kekuasaan
Membungkam media dengan label “tidak mendukung pembangunan” adalah langkah klasik yang sering digunakan untuk menutupi kelemahan kebijakan. Ini adalah tameng kekuasaan yang bertujuan membuat publik ragu terhadap media, dan menciptakan ketakutan di kalangan wartawan agar tidak lagi bersuara kritis.
Padahal, media yang mengkritik justru menunjukkan kepedulian. Kritik tentang proyek mangkrak, transparansi anggaran, pelayanan publik yang buruk, atau keputusan yang kontroversial bukan bentuk sabotase, melainkan alarm demokrasi agar ada perbaikan. Jika kritik dibungkam, kesalahan akan berulang, dan pembangunan hanya menjadi slogan yang tidak menyentuh kebutuhan riil masyarakat.
Peran Media Profesional Tak Bisa Dikesampingkan
Perlu ditegaskan, media yang terverifikasi secara faktual dan dijalankan oleh wartawan yang telah mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) bukan sembarang media. Mereka bekerja dengan kode etik, verifikasi berlapis, dan tanggung jawab profesional. Mengabaikan kritik dari media semacam ini, atau bahkan menyerangnya balik, mencerminkan ketidakdewasaan dalam memimpin.
Alih-alih menyerang media, para pemimpin daerah seharusnya menjadikan kritik sebagai bahan evaluasi. Bukankah pemimpin hebat adalah mereka yang bisa mendengar, memperbaiki, dan terus bertumbuh?
Menolak Kritik Adalah Menolak Perbaikan
Pemimpin yang alergi terhadap kritik sesungguhnya sedang menolak peluang untuk memperbaiki diri. Dan ketika kritik tak lagi diterima, maka yang tumbuh bukan pembangunan, tapi budaya tutup mulut, budaya ABS (Asal Bapak Senang), dan akhirnya stagnasi.
Saat Kritik Media Disebut Mengemis, Cermin Buruknya Etika Birokrasi
Dalam iklim demokrasi yang sehat, peran media sebagai pilar keempat bangsa adalah mutlak diperlukan. Sayangnya, di beberapa daerah khususnya di Natuna, masih saja ada anggapan keliru yang menyamakan kritik media kepada pemerintah sebagai upaya “mengemis-ngemis” untuk mendapatkan kerja sama publikasi media. Pandangan ini tidak hanya keliru, tapi juga berbahaya bagi kemerdekaan pers dan pembangunan daerah yang transparan.
Kritik adalah bentuk tanggung jawab sosial. Ketika media lokal yang telah terverifikasi Dewan Pers dan wartawannya sudah bersertifikat UKW menyampaikan kritik terhadap kinerja atau kebijakan pemerintah, seharusnya itu disambut sebagai bahan introspeksi, bukan dianggap sebagai manuver untuk kepentingan pribadi atau bisnis. Apalagi jika kritik tersebut disampaikan secara terbuka, berdasarkan data dan fakta lapangan, bukan gosip atau sentimen politik.
Sayangnya, sebagian oknum di birokrasi masih alergi terhadap koreksi. Ketika media mengungkapkan kurangnya transparansi anggaran, lemahnya komunikasi publik, atau lambannya pelayanan, muncul tuduhan bahwa media sedang “menjilat untuk dapat kue anggaran.” Tuduhan ini sesungguhnya adalah bentuk pelarian dari tanggung jawab publik dan upaya mendeligitimasi fungsi kontrol sosial media.
Lebih ironis lagi, pemerintah daerah kerap bermitra dengan media-media luar daerah yang tidak paham konteks lokal, hanya karena kepentingan politik atau pencitraan. Sementara media lokal yang telah mengabdi puluhan tahun diabaikan, bahkan dicurigai niatnya ketika bersuara. Ini adalah bentuk diskriminasi informasi yang mencederai semangat keterbukaan dan keadilan.
Sudah saatnya pemerintah daerah berhenti bersikap anti-kritik. Bersinergi dengan media lokal bukanlah bentuk kelemahan, tapi kekuatan dalam menciptakan ruang demokrasi yang sehat. Media yang independen dan kritis justru akan membantu pemerintah menyaring aspirasi, mengawasi pelaksanaan program, serta mempercepat pembangunan yang merata dan partisipatif.
Menyebut kritik sebagai pengemis kerja sama hanyalah refleksi dari ketakutan pejabat terhadap transparansi. Pemerintah yang bekerja dengan tulus dan terbuka tidak akan takut dikritik, justru akan menghargai suara-suara media yang jujur demi kepentingan masyarakat.
Jangan biarkan semangat pers lokal dikubur oleh kesombongan kekuasaan.
Pembangunan sejati membutuhkan transparansi, evaluasi, dan keterlibatan semua elemen termasuk media. Maka berhentilah melihat kritik sebagai ancaman. Karena kritik yang jujur adalah bentuk dukungan paling tulus untuk perubahan yang lebih baik. Jika pemimpin takut dikritik, maka ia belum siap untuk membangun.
Pemimpin yang hebat bukan yang hanya bisa bekerja dalam senyap, tapi yang mampu bekerja terbuka, dan dipercaya publik melalui media yang bertanggung jawab. Natuna butuh pembangunan yang berkelanjutan, dan itu hanya bisa dicapai jika pemerintah daerah dan media lokal berdiri dalam barisan yang sama, barisan transparansi dan akuntabilitas.***
Komentar