www.ranaipos.com – Jakarta : Himpunan Penambang Kuarsa Indonesia (HIPKI) meminta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Natuna untuk meninjau ulang rencana pemberlakuan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 15 Tahun 2023. Perda ini mengatur kenaikan pajak daerah dan retribusi daerah pasir kuarsa sebesar 40 persen di wilayah Natuna, Kepulauan Riau.
Ketua Umum HIPKI, Ady Indra Pawennari, menilai waktu untuk menaikkan pajak daerah ini tidak tepat. “Ini bukan waktu yang tepat untuk menaikkan pajak daerah di tengah kondisi harga jual pasir kuarsa di pasar internasional yang turun drastis hingga 40 persen. Kita minta ditinjau ulang. Kalau harga sudah stabil, pasti kita dukung,” ujar Ady, Selasa (17/12/2024).
Rencana ini muncul setelah sosialisasi Perda Nomor 15 Tahun 2023 yang digelar Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) Natuna di Ranai. Dalam aturan baru tersebut, pajak daerah pasir kuarsa dinaikkan dari 10 persen menjadi 14 persen dari Harga Patokan Mineral (HPM) Pasir Kuarsa. HPM ditetapkan Gubernur Kepri melalui Keputusan Nomor 1051 Tahun 2022 sebesar Rp250 ribu per metrik ton.
Selain pajak daerah, pengusaha juga harus menanggung pajak provinsi sebesar 25 persen dari nilai pajak daerah, sehingga total beban pajak menjadi 17,5 persen per metrik ton. Menurut Ady, ini berarti lonjakan pajak secara keseluruhan mencapai 75 persen, yang tentu akan menambah tekanan bagi pengusaha tambang.
“Beban ini semakin berat di tengah penurunan harga internasional pasir kuarsa dari USD31-USD32 per metrik ton menjadi hanya sekitar USD19-USD20 per metrik ton. Penurunan sebesar 40 persen ini sudah cukup menantang, apalagi ditambah pajak yang meningkat signifikan,” tambah Ady.
Ady, yang juga Direktur Utama PT. Multi Mineral Indonesia, menyebut kenaikan pajak drastis ini bertentangan dengan prinsip ekonomi yang sehat. Ia menyarankan agar pemerintah daerah menyesuaikan tarif pajak sesuai kondisi pasar.
“Dalam situasi harga komoditas yang turun tajam, pemerintah seharusnya memberikan insentif untuk mendorong kegiatan ekonomi. Kebijakan menaikkan pajak justru memperburuk kondisi dan mengurangi daya tarik investasi di Natuna,” tegasnya.
Selain tantangan harga, pertambangan pasir kuarsa di Natuna juga menghadapi kendala geografis. Biaya produksi dan distribusi di wilayah ini sangat tinggi karena lokasi yang terpencil dan akses logistik yang terbatas.
Lebih lanjut, aktivitas penambangan hanya dapat dilakukan selama delapan bulan dalam setahun. Pada musim angin utara, operasi penambangan dan pengiriman dihentikan demi alasan keselamatan.
Ady berharap Pemkab Natuna dan Pemprov Kepulauan Riau dapat mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut agar tidak menghambat pertumbuhan sektor tambang yang menjadi salah satu penggerak ekonomi di wilayah paling utara Kepulauan Riau ini.(*)
Komentar