Oleh:
AJ Suhardi
Secara awam reformasi birokrasi dapat diartikan sebagai perubahan besar dan mendasar dalam paradigma tata kelola pemerintahan, untuk menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik: adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dari perilaku KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme), mampu memberikan pelayanan publik secara akuntabel, netral, berdedikasi, sejahtera dan memegang teguh nilai-nilai dasar serta kode etik aparatur negara.
Nampaknya cita-cita tersebut sejalan dengan rencana pemerintah untuk menciptakan ‘Smart ASN’ (Aparatur Supil Negara) tahun 2024, yaitu cara kerja ASN yang lebih efisien dan efektif dengan media/bantuan teknologi yang konvergen. Lebih dari itu, Smart ASN akan menciptakan karakter dasar ASN yang berwawasan global, menguasai teknologi informasi, bahasa asing, berjiwa hospitality, entrepreneurship dan memiliki network yang luas.
Maka aspek yang menjadi sasaran perubahan dalam reformasi birokrasi tidak terlepas dari urusan organisasi, peraturan/perundang-undangan, sumber daya manusia aparatur, kewenangan, konsep pelayanan publik, pola pikir (mind set) aparatur dan budaya kerja (culture set) aparatur. Tidak heran kalau pelaksanaan reformasi birokrasi ini banyak pihak yang terlibat, termasuk peran agen perubahan.
Agen perubahan adalah individu atau kelompok tertentu yang dipilih untuk menjadi pelopor dalam perubahan. Keberadaannya diharapkan menjadi tauladan, contoh atau panutan (role model) dalam menggerakkan perilaku yang berintegritas dan berkinerja tinggi dalam sebuah organisasi. Sejalan dengan proses reformasi birokrasi ini, pemerintah Republik Indonesia pun kini tengah mengadakan kebijakan penyederhanaan birokrasi.
Kebijakan penyederhanaan birokrasi dalam bentuk penyetaraan jabatan bertujuan untuk menciptakan birokrasi yang lebih dinamis dan profesional. Hal ini sebagai upaya peningkatan efektifitas dan efisiensi dalam rangka mendukung kinerja pelayanan publik. Namun disadari atau tidak, proses penyederhanaan birokrasi ini berpotensi menimbulkan dampak, khususnya dalam implementasinya di lingkungan pemerintah daerah.
(Penyederhanaan Birokrasi yang dilakukan ini sebagai tindak lanjut dari pidato pelantikan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tanggal 20 Oktober 2019 saat pelantikan presiden RI periode 2019-2024).
Proses penyederhanaan birokrasi tersebut dilakukan dengan memangkas atau penyetaraan beberapa jabatan struktural ke dalam jabatan fungsional. Ruang lingkup jabatan yang akan disetarakan itu antara lain yaitu jabatan administrasi yang terdiri dari jabatan administrator (eselon III), jabatan pengawas (eselon IV) dan jabatan pelaksana (eselon V).
Kebijakan ini ditindaklanjuti dengan keluarnya beberapa surat edaran dari kementerian terkait. Diantaranya surat edaran Menteri Pendayagunaan Apartur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Nomor 384 Tahun 2019 tanggal 13 November 2019 tentang langkah strategis dan konkret penyederhanaan birokrasi, surat Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 130/13988/SJ tanggal 13 Desember 2019 perihal penyederhanaan birokrasi pada jabatan administrator di lingkungan pemerintah kabupaten/kota.
Selain itu rencana tindak lanjut dan tata cara penyederhanaan birokrasi dijelaskan melalui surat instruksi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 130/14106/SJ tanggal 18 Desember 2019 perihal tindaklanjut penyederhanaan birokrasi pada jabatan administrasi di lingkungan pemerintah daerah serta keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 061-5449 Tahun 2019 tentang tata cara persetujuan Menteri Dalam Negeri terhadap tambahan penghasilan pegawai di lingkungan pemerintah daerah.
Selanjutnya berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) PANRB Nomor 28 Tahun 2019 tentang penyetaraan jabatan administrasi ke dalam jabatan fungsional, dijelaskan secara teknis pelaksanaan penyetaraan jabatan tersebut. Terakhir pada 28 April 2021, ada pula iming-iming peningkatan/penembahan tunjangan jabatan fungsional penggerak swadaya masyarakat, melalui Keputusan Presiden RI nomor 30 tahun 2021.
Permen PANRB juga menjelaskan bahwa penyetaraan jabatan administrasi ke dalam jabatan fungsional yang selanjutnya disebut penyetaraan jabatan adalah pengangkatan pejabat administrasi ke dalam jabatan fungsional melalui penyesuaian atau Inpassing pada jabatan fungsional yang setara. Batas waktu pelaksanaan penyetaraan jabatan ini, berlaku sampai dengan akhir bulan ini (30 Juni 2021).
Kriteria penyetaraan jabatan sebagaimana pasal 3 ayat (1) Permen PANRB tersebut diantaranya tugas dan fungsi jabatan yang berkaitan dengan pelayanan teknis fungsional, tugas dan fungsi jabatan dapat dilaksanakan oleh pejabat fungsional serta jabatan yang berbasis keahlian/keterampilan tertentu.
Pengecualian jabatan administrasi yang dapat dipertimbangkan untuk tidak dilakukan penyetaraan jabatan harus memperhatikan kriteria memiliki tugas dan fungsi sebagai kepala satuan kerja dengan kewenangan dan tanggung jawab dalam penggunaan anggaran atau pengguna barang/jasa, serta memiliki tugas dan fungsi yang berkaitan dengan kewenangan/otoritas, legalisasi, pengesahan, persetujuan dokumen, atau kewenangan kewilayahan.
Kemen. PANRB RI dalam rapat koordinasi tanggal 4 Maret 2021, merilis data bahwa proses penyederhanaan birokrasi di tingkat pusat (Kementerian/Lembaga) sudah mencapai 90%. Perkiraan jabatan yang disetarakan itu sebanyak 39.000 jabatan setingkat eselon III dan eselon IV (jabatan administrasi) yang berhasil dipangkas, dialihkan ke jabatan fungsional.
Langkah tersebut pun telah diikuti oleh pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Pemerintah daerah tengah melakukan persiapan, inventarisasi bahkan melakukan proses pengusulkan alih jabatan (untuk proses penyetaraan jabatan administrasi ke dalam jabatan fungsional). Meskipun terkesan memaksakan diri atau berpacu dalam target waktu yang ditetapkan pemerintah pusat.
Penyetaraan tersebut tentu saja berpotensi menimbulkan dampak, antara lain adalah kondisi jabatan fungsional yang masih belum merata di tingkat pemerintah daerah (provinsi dan kanopaten/kota), karena ada perangkat daerah yang sudah memiliki banyak jabatan fungsional namun ada juga perangkat daerah lain yang belum memiliki jabatan fungsional sesuai tugas pokok dan fungsinya.
Seperti pada perangkat daerah yang mengurusi jaringan keamanan ciber, internet/website, data terpadu, promosi objek wisata, perizinan, pendapatan daerah dan lain-lain, belum ada jabatan fungsional yang relevan bagi dinas terkait. Maka dalam proses penyetaraan jabatan tersebut, terpaksa harus memposisikan pejabatnya pada jabatan fungsional yang agak dekat/mirip dengan urusan yang selama ini menjadi tugas dan tanggungjawabnya.
Mengantisipasi hal itu, Kemen. PANRB memformulasikan empat puluh dua (42) jabatan fungsional baru yang telah dibentuk untuk mendukung percepatan penyederhanaan birokrasi. Keseluruhan sudah ada dua ratus empat puluh dua (242) jumlah jabatan fungsional yang dibakukan. Selain itu terdapat seratus dua puluh empat (124) usulan jabatan fungsional baru dari berbagai kementerian/lembaga yang masih dalam proses revisi terhadap Permen PANRB tentang jabatan fungsional.
Keuntungan dari penyetaraan jabatan adalah kemungkinan penambahan BUP (Batas Usia Pensiun) pegawai. Semula BUP pada jabatan administrasi lima puluh delapan (58) tahun dan setelah menduduki jabatan fungsional dengan jenjang tertentu BUP bisa mencapai enam puluh (60) tahun. Kesempatan untuk naik pangkat pun lebih cepat, kelas jabatan lebih tinggi, tunjangan jabatan lebih besar dan tetap mempunyai kesempatan untuk menjadi pimpinan tinggi.
Namun di sisi lain, dikhawatirkan akan terjadi demotivasi pegawai karena tidak mudah mengubah kultur dari pejabat struktural ke pejabat fungsional. Pada saat diberlakukannya kebijakan ini, tentunya akan memerlukan adaptasi karena berpengaruh pada psikologi/tata kerja dari sebelumnya pejabat struktural menjadi pejabat fungsional.
Adanya pengalihan dari jabatan struktural ke dalam jabatan fungsional berpotensi mengabaikan perhitungan formasi analisis jabatan (Anjab) dan analisis beban kerja (ABK) karena jumlah pejabat fungsional tidak sebanding dengan formasi yang ada. Dampaknya akan terjadi penumpukan pada jabatan fungsional tertentu sehingga akan berpengaruh terhadap pemenuhan angka kreditnya.
Selain itu penyetaraan yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan, pengalaman dan pengkaderan merupakan potensi sumber masalah dikemudian hari, khususnya dalam pencapaian target angka kredit. Bila angka kredit tidak dapat dipenuhi dalam anterval waktu tertentu, jangankan kenaikan pangkat, karier dan tunjangan jabatan yang terhambat, nasib sebagai ASN pun akan terancam diberhentikan.
Namun, semua itu tentu sudah diantisipasi oleh pemerintah sebagaimana tujuan utamanya adalah untuk menciptakan birokrasi yang lebih dinamis dan profesional. Serta sebagai upaya peningkatan efektifitas dan efisiensi dalam rangka mendukung kinerja pelayanan publik. Semoga cita-cita ini dapat terwujud, bukan jutru merupakan strategi efektif untuk membuat aparatur pemerintah tergerus dalam seleksi alam.
Asmara Juana Suhardi, ST.,S.IP., M.Si adalah Mantan Jurnalis dan Staf Pengajar Komunikasi Politik dan Ilmu Pemerintahan (On Line) Universitas Satyanegara. Tinggal di Natuna.
Komentar