Oleh : Ellyzan Katan (Alumni Universitas Islam Riau, Pekanbaru, PNS di Kabupaten Natuna).
Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, pemerintah wajib untuk menyelenggarakan musyawarah rencana pembangunan (musrenbang). Di dalamnya merupakan sarana untuk merumuskan usulan pembangunan pada tahun yang akan datang. Musrenbang dibagi lagi menjadi, musrenbang untuk rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), musrenbang untuk rencana pembangunan jangka menengah (RPJM), dan musrenbang untuk rencana kerja tahunan (RKT). Khusus yang terakhir ini, lebih dikenal dengan rencana kerja pemerintah (RKP), atau bila di provinsi dan kabupaten/ kota, disebut RKPD. Semuanya mengerucut pada satu dokumen akhir, yaitu APBD.
Pelaksanaan musrenbang di tanah air, sejauh penerapan era otonomi daerah di Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan. Ada musrenbang yang memiliki sistem usulan dari atas ke bawah (top down). Ada pula yang menerapkan sistem usulan dari bawah ke atas (buttom up). Sistem usulan yang diterapkan dalam ketatanegaraan kita, menurut undang-undang pemerintahan daerah yang terus mengalami perubahan itu, menggunakan pendekatan usulan dari akar rumput, dari bawah ke atas (buttom up). Setiap kelompok masyarakat atau pun individu masyarakat, serta banyak kelompok kepentingan lainnya bisa mengusulkan kegiatan pembangunan untuk ditampung dalam APBD. Setiap usulan itu nantinya akan dibahas bersama guna menghasilkan program kegiatan dan sub kegiatan prioritas sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.
Pemilihan daftar usulan yang ada dalam setiap tingkatan musrenbang, adalah langkah awal untuk menghasilkan APBD berkualitas. Ya, berkualitas dari sisi perencanaan, berkualitas juga dari sisi pelaksanaan. Indikatornya adalah 1) pembangunan infrastruktur dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, 2) tidak ada aparatur penyelenggara pembangunan infrastruktur yang tersangkut hukum, 3) pelayanan publik dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan 4) seluruh indikator pembangunan lainnya terlaksana sesuai target.
Maka pembangunan yang terlaksana dengan baik memberikan gambaran bahwa pemerintah telah melaksanakan perannya secara terukur, transparan, serta akuntabel. Sebagaimana dijelaskan oleh A. Norton dan Diane Elson (2002), peran pemerintah dalam pengambilan keputusan, pilihan politik dan akuntabilitas pada sistem manajemen pengeluaran publik, benar-benar faktor penentu yang sedikit banyak, ikut mempengaruhi munculnya keputusan akhir. Terlepas dari besar kecilnya nilai anggaran yang disetujui untuk membiayai satu atau beberapa usulan dalam musrenbang, tetap saja semua itu tidak akan terlaksana bila tidak ada pengaruh mempengaruhi dari aktor-aktor pembangunan. Aktor pembangunan yang hadir dalam setiap level, tergantung potensi yang dimiliki.
Di level provinsi, aktor pembangunan yang terlibat dari pihak swasta, bisa saja tidak terbatas dari pelaku usaha di dalam provinsi, akan tetapi bisa lintas provinsi dan dari kelas nasional. Begitu juga dengan tim loby bayangan dari setiap penggerak di birokrasi, akan memainkan perannya secara maksimal. Mereka akan melakukan pendekatan-pendekatan beragam guna mencapai tujuan terwujudnya penganggaran di dalam musrenbang masuk ke dalam APBD. Sementara di level kabupaten/ kota, sama saja. hanya kelas pemainnya bisa saja dari lokal. Sedikit pemain nasional. Ini lantaran nilai kegiatan yang ada di kabupaten/ kota tidak sebesar di provinsi. Dan kalau pun ada, itu bisa saja dari Dana Alokasi Khusus (DAK).
Di sini, yang menjadi soal bukannya pelaksana teknis birokrasi di jajaran pemerintahan dan pelaksana teknis pembangunan fisik di pihak swasta, atau pada tim loby, akan tetapi ada pada masyarakat bawah yang mengusulkan pembangunan. Masyarakat akan dihadapkan pada dua pilihan yang serba tidak nyaman. 1) usulan pembangunan yang diusulkan belum tentu masuk APBD, namun di sisi lain, kalau pun masuk, 2) sudah pasti kualitasnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Bukankah sudah banyak kejadian di setiap musrenbang bahwa usulan yang diusulkan untuk menjadi program, kegiatan dan sub kegiatan pada dinas terkait, ternyata tidak masuk dalam rencana kerja dinas kendati sudah diusulkan empat sampai lima kali musrenbang? Dan ketika usulan tersebut berhasil masuk dalam rencana kerja dinas untuk dilaksanakan menggunakan APBD provinsi atau pun APBD kabupaten/ kota, hanya dalam tempo dua tiga tahun sudah menunjukkan penurunan kualitas. Unsur manfaat yang seharusnya dapat dirasakan oleh masyarakat dalam tempo yang lama, ternyata meleset dari target. Malah bangunan-bangunan yang masuk dalam kategori penurunan kualitas begitu cepat ini, berserak di mana-mana tempat. Masyarakat hanya bisa memakainya sekali saja.
Seharusnya kehadiran musrenbang yang diamanatkan dalam UU No. 25 Tahun 2004 tersebut, dapat dijadikan dasar yang kuat untuk menyelesaikan berbagai persoalan daerah, terutama keterbatasan infrastruktur publik di seluruh wilayah kewenangan masing-masing pemerintah daerah. Seperti misalnya usulan pembangunan jalan di wilayah kewenangan kabupaten, tentunya akan berbeda dengan usulan yang ada di wilayah kewenangan provinsi. Ini harus dipahami secara baik oleh segenap unsur masyarakat agar tidak terjadi kesalahan dalam menilai kinerja pemerintah provinsi atau kabupaten/ kota. Jangan menganggap usulan yang diajukan tidak pernah disetujui oleh pemerintah kabupaten/ kota lantas serta merta memberikan penilaian kepada pemimpin lokal tidak menjalankan tugas dan fungsinya secara benar. Padahal semua itu terkendala pada ranah kewenangan.
Semestinya ada kesepahaman yang setara antara masyarakat dengan pemerintah yang bertanggungjawab dalam mengelola anggaran pembangunan fisik. Masyarakat mengetahui kewenangan yang ada pada pemerintah daerah sebelum mengusulkan proyek pembangunan infrastruktur agar semuanya dapat berjalan sebagaimana seharusnya.
Strategi Mengusulkan Pembangunan Infrastruktur
Lebih lanjut harus diperjelas, apakah proses pengusulan pembangunan fisik dasar telah selesai ketika musrenbang di Kabupaten/ Kota juga selesai dilaksanakan? Atau masih ada proses lanjutan agar usulan yang ada bisa ditampung dalam APBD?
Memang belum tuntas. Pekerjaan selanjutnya adalah mendekati aktor penentu pembangunan di daerah. Sebagaimana telah disebutkan di atas, aktor-aktor ini memiliki peran yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Lebih-lebih aktor politik daerah yang memiliki pengaruh dalam proses penentuan keputusan strategis. Melalui mereka, usulan yang telah dikemas sedemikian rupa dalam format baku usulan, dapat dipertimbangkan masuk ke meja-meja perundingan internal pemerintah, untuk kemudian ditetapkan menjadi proyek pembangunan.
Pendekatan yang dijalankan oleh masyarakat atau oleh perwakilan masyarakat di lembaga desa, lembaga keagamaan, serta tokoh-tokoh masyarakat lainnya, bisa melalui pendekatan secara halus (soft approach) dan bisa juga melalui pendekatan yang secara keras (hard approach). Pendekatan secara halus (soft approach) dapat dilakukan melalui lembaga kekeluargaan, meja kedai kopi, bual-bual antara tokoh masjid dengan pemimpin daerah, atau silaturahmi antara kelompok masyarakat ke penentu kebijakan lainnya. Sementara pendekatan secara kasar (hard approach) dapat berupa ancaman, unjuk rasa, tuntutan secara hukum, dan tekanan-tekanan lainnya.***
Komentar