Di tengah hiruk pikuk dinamika sosial hari ini, satu profesi yang selalu menjadi sorotan namun paling sedikit mendapat perlindungan adalah guru. Ironisnya, profesi yang seharusnya paling dihormati sebagai pilar peradaban justru sering menjadi sasaran empuk kriminalisasi, pembunuhan karakter, bahkan sentimen publik yang tak berdasar. Seakan-akan guru tidak pernah benar—sedikit saja terjadi gesekan dengan siswa, orang tua, atau lembaga, maka jari telunjuk langsung menuding: “Guru yang salah.”
Padahal, sejarah bangsa-bangsa besar menunjukkan bahwa nasib pendidikan menentukan nasib negara. Jepang, setelah kalah pada Perang Dunia II, tidak mencari jenderal, politisi, atau pengusaha. Yang dicari pertama kali adalah guru—jumlahnya, kondisinya, dan kesiapannya membangun ulang karakter bangsa. Mengapa? Karena Jepang memahami bahwa bangsa hanya bisa bangkit jika guru berdiri tegak.
Di Indonesia, realitasnya berbanding terbalik.
Kriminalisasi yang Semakin Mudah
Dalam beberapa tahun terakhir, publik berkali-kali menyaksikan guru diseret ke ranah hukum akibat tindakan disiplin yang sebenarnya lumrah dilakukan dalam konteks pendidikan. Banyak kasus bermula dari kesalahpahaman, ego orang tua yang berlebihan, atau ketidaktahuan terhadap prinsip pedagogi. Tidak sedikit guru yang akhirnya ditahan, dilapor ke polisi, atau diadili secara sosial melalui media—tanpa kesempatan menjelaskan situasi sebenarnya.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar :
Mengapa profesi yang seharusnya terlindungi justru paling rentan?
Jika seorang dokter salah mendiagnosis, tidak serta-merta ia dikriminalisasi. Jika seorang insinyur keliru menghitung, ia mendapat ruang koreksi. Tetapi ketika guru mengambil tindakan mendidik—baik secara verbal maupun disiplin nonkekerasan—ia berada pada posisi paling mudah disalahkan.
Ini bukan sekadar ketidakadilan; ini ancaman terhadap masa depan bangsa.
Kemana Perlindungan Negara?
Undang-Undang Guru dan Dosen sebenarnya memberikan jaminan perlindungan profesi kepada guru. Namun implementasinya masih jauh panggang dari api.
Guru sering berhadapan dengan proses hukum tanpa pendampingan negara, tanpa perlindungan psikologis, dan tanpa jaminan bahwa mereka diperlakukan adil sebagai pendidik.
Negara seperti absen.
Guru seperti menghadapi badai seorang diri.
Lebih menyedihkan lagi, lembaga pendidikan pun kadang memilih “aman” dengan tidak membela guru, demi menghindari konflik dengan orang tua atau tekanan publik. Guru menjadi tumbal citra sekolah.
Kontradiksi Besar: Beban Tinggi, Perlindungan Minim
Sementara tuntutan terhadap guru semakin meningkat—harus profesional, kreatif, inovatif, menguasai teknologi, mengelola kelas, mengajar, membimbing, menilai, sekaligus mendidik karakter—perlindungan terhadap guru justru stagnan.
Bagaimana mungkin bangsa berharap generasi unggul lahir dari guru yang ketakutan?
Guru yang takut salah tidak akan berani mendisiplinkan siswa.
Guru yang takut dilaporkan tidak akan berani menerapkan batas dan aturan.
Guru yang cemas dikriminalisasi hanya akan mengajar separuh hati.
Dan murid pun kehilangan figur pendidik sejati.
Indonesia Harus Belajar dari Jepang
Jepang bangkit setelah perang bukan karena kekuatan ekonomi, tetapi karena karakter bangsa yang dibentuk melalui pendidikan. Dan pendidikan hanya kuat jika guru diposisikan sebagai fondasi, bukan sebagai kambing hitam.
Bangsa ini harus bertanya dengan jujur:
Apakah guru kita dihormati sebagaimana pahlawan bangsa?
Apakah guru kita dilindungi sebagaimana profesi strategis negara?
Apakah guru kita diberi ruang untuk mendidik tanpa rasa takut?
Jika jawabannya “tidak”, maka kita sedang menyiapkan kehancuran peradaban.
Guru Bukan Malaikat, Tapi Mereka Penentu Masa Depan
Guru memang manusia, tak luput dari kekurangan. Tetapi kriminalisasi bukan solusi.
Ketika guru ditekan, bangsa terpuruk.
Ketika guru dihormati, bangsa bangkit.
Masalah disiplin, salah paham, atau konflik pendidikan semestinya diselesaikan melalui mekanisme etik, dialog, dan kebijakan perlindungan pendidikan, bukan melalui polisi dan kriminalisasi.
Saatnya Negara Hadir
Negara harus tegas:
1. Menguatkan dan menegakkan perlindungan profesi guru.
2. Menghentikan kriminalisasi tindakan pedagogis yang sah.
3. Membangun mekanisme penyelesaian konflik pendidikan yang adil.
4. Mengedukasi masyarakat tentang batas, peran, dan etika guru.
Sementara masyarakat pun perlu kembali pada nilai dasar:
Guru adalah orang tua kedua.
Mereka bukan musuh. Mereka tidak sedang mencelakai anak-anak kita. Mereka sedang membentuk masa depan mereka.
Jika guru terus disalahkan, siapa nanti yang masih mau menjadi guru?
Dan bila tak ada lagi guru yang berani mendidik, bangsa ini akan kehilangan masa depannya.***





Komentar