No Result
View All Result
  • Tentang Kami
  • Contact
  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Siber
Minggu, 7 Desember 2025
Ranai Pos
  • Home
  • Nasional
  • Natuna
  • Anambas
  • Seputar Kepri
    • All
    • Batam
    • Bintan
    • Karimun
    • Lingga
    • Tanjungpinang
    Banjir Rob Meningkat, Warga Pesisir Tanjungpinang Diminta Waspada hingga 13 Desember

    Banjir Rob Meningkat, Warga Pesisir Tanjungpinang Diminta Waspada hingga 13 Desember

    Polwan Polres Bintan Gelar Jumat Berkah, Beri Dukungan untuk Lansia Penderita Stroke di Kawal

    Polwan Polres Bintan Gelar Jumat Berkah, Beri Dukungan untuk Lansia Penderita Stroke di Kawal

    Patroli Bea Cukai Batam Kejar Kapal di Malam Hari, 371 Ribu Batang Rokok Ilegal Berhasil Diamankan

    Patroli Bea Cukai Batam Kejar Kapal di Malam Hari, 371 Ribu Batang Rokok Ilegal Berhasil Diamankan

  • Wisata
  • Opini
  • Galeri Foto
  • Iklan
  • Home
  • Nasional
  • Natuna
  • Anambas
  • Seputar Kepri
    • All
    • Batam
    • Bintan
    • Karimun
    • Lingga
    • Tanjungpinang
    Banjir Rob Meningkat, Warga Pesisir Tanjungpinang Diminta Waspada hingga 13 Desember

    Banjir Rob Meningkat, Warga Pesisir Tanjungpinang Diminta Waspada hingga 13 Desember

    Polwan Polres Bintan Gelar Jumat Berkah, Beri Dukungan untuk Lansia Penderita Stroke di Kawal

    Polwan Polres Bintan Gelar Jumat Berkah, Beri Dukungan untuk Lansia Penderita Stroke di Kawal

    Patroli Bea Cukai Batam Kejar Kapal di Malam Hari, 371 Ribu Batang Rokok Ilegal Berhasil Diamankan

    Patroli Bea Cukai Batam Kejar Kapal di Malam Hari, 371 Ribu Batang Rokok Ilegal Berhasil Diamankan

  • Wisata
  • Opini
  • Galeri Foto
  • Iklan
No Result
View All Result
Ranai Pos
No Result
View All Result

Sesat Pikir Negara : Menyamakan Guru dengan Pekerja Pabrik (Mengkritisi Paradigma PPPK dalam Dunia Pendidikan)

Oleh : Dr. H. Amirudin, MPA (Dosen dan Peneliti Pendidikan, Natuna)

rapi by rapi
04/11/2025 8:53 AM
in Opini
0
Dr. Amirudin _ Dosen Sosiologi STAI Natuna, Peneliti Nasionalisme dan Ketahanan Sosial Perbatasan

Dr. Amirudin _ Dosen Sosiologi STAI Natuna, Peneliti Nasionalisme dan Ketahanan Sosial Perbatasan

0
SHARES
124
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Kekeliruan Paradigma dalam Dunia Pendidikan

Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan pemerintah yang menempatkan guru dalam status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) semakin masif. Program ini disebut sebagai solusi atas masalah honorer yang menumpuk dan beban fiskal negara yang berat. Namun, di balik narasi efisiensi tersebut, tersembunyi persoalan paradigmatik yang jauh lebih serius: negara mulai memperlakukan profesi guru dengan logika industri, bukan dengan logika pendidikan.

Guru bukan sekadar pengajar, melainkan pendidik manusia yang membentuk manusia lain. Dalam filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, guru adalah sosok yang menuntun segala kekuatan kodrat anak-anak agar mereka menjadi manusia yang merdeka lahir dan batin. Maka, memperlakukan guru sebagai pekerja kontrak berarti mereduksi makna profesi yang sakral ini menjadi sekadar pekerjaan administratif.

Kebijakan PPPK mungkin tampak efisien di atas kertas, tetapi ia mengandung “sesat pikir negara” yaitu menyamakan profesi pendidik dengan pekerja pabrik. Jika demikian halnya, jangan salahkan bila guru hanya sekadar mengajar, bukan mendidik. Karena negara sendiri telah menempatkan mereka bukan sebagai abdi nilai, melainkan sebagai buruh sistem.

Baca Juga

Guru : Dipuja di Baliho, Disisakan di Kebijakan

Mengapa Walikota Muslim Bisa Menang di Amerika Serikat?

  1. Dari Panggilan Jiwa Menjadi Perjanjian Kerja

Guru dalam tradisi Indonesia selalu dipandang sebagai profesi moral dan pengabdian. Gelar PNS bukan sekadar status administratif, melainkan simbol pengabdian seumur hidup untuk mencerdaskan bangsa.

Namun status PPPK mengubah orientasi tersebut. Guru kini diikat oleh kontrak lima tahunan, dievaluasi dengan sistem angka kredit, dan bergantung pada perpanjangan kontrak yang tidak pasti.

Menurut UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, PPPK adalah “pegawai yang diangkat dengan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu”. Formulasi ini, jika diterapkan pada profesi guru, menyiratkan bahwa mendidik anak bangsa dianggap setara dengan mengelola proyek jangka pendek.

Padahal, membentuk karakter manusia adalah pekerjaan lintas generasi, bukan lintas periode kontrak.

Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed menegaskan bahwa pendidikan adalah “tindakan pembebasan manusia dari struktur penindasan”. Guru, dalam pandangan Freire, bukan sekadar pengajar, melainkan agen perubahan sosial. Namun dalam sistem PPPK, guru diperlakukan sebagai subjek administratif, bukan agen transformatif. Ia terikat oleh target, laporan, dan evaluasi kinerja seperti pekerja manufaktur.

  1. Reduksi Profesi Guru : Dari Mendidik ke Mengajar

Perbedaan antara mengajar dan mendidik sangatlah mendasar. Mengajar adalah aktivitas transfer pengetahuan; mendidik adalah pembentukan karakter dan kemanusiaan.

Namun dalam sistem PPPK, insentif dan evaluasi kerja lebih menekankan pada aspek administratif kehadiran, jam mengajar, dan laporan kinerja ketimbang aspek kepribadian dan pembentukan nilai.

Sebuah riset Balitbang Kemendikbudristek (2023) menunjukkan bahwa 68% guru PPPK merasa tidak memiliki kepastian karier dan 61% mengaku tidak berani mengkritik kebijakan kepala sekolah karena khawatir kontraknya tidak diperpanjang. Dalam kondisi demikian, guru sulit menjadi pembaharu, apalagi teladan moral. Mereka cenderung pragmatis dan berhitung. Jika negara memperlakukan guru seperti pekerja kontrak, maka yang akan muncul adalah generasi pendidik yang bekerja berdasarkan imbalan, bukan panggilan.

Ki Hajar Dewantara (1935) pernah menulis: “Pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat anak-anak agar mereka menjadi manusia yang beradab.” Tetapi bagaimana seorang guru bisa menuntun bila dirinya sendiri tidak dituntun oleh penghormatan negara terhadap profesinya?

  1. Logika Industri dalam Dunia Pendidikan

Kebijakan PPPK merefleksikan masuknya logika neoliberalisme dalam dunia pendidikan. Neoliberalisme memandang manusia sebagai sumber daya yang bisa diatur, dievaluasi, dan diganti sesuai kebutuhan pasar. Dengan menerapkan sistem kontrak, negara sedang mengadopsi cara berpikir korporasi: efisiensi biaya, fleksibilitas tenaga kerja, dan hasil terukur. Padahal pendidikan adalah dunia yang bekerja dengan logika nilai, bukan logika angka.

Dalam logika industri, pekerja yang tidak produktif dapat digantikan dengan mudah. Tetapi dalam dunia pendidikan, hubungan antara guru dan murid bukan sekadar hubungan kerja, melainkan hubungan kemanusiaan. Ada ikatan emosi, keteladanan, dan cinta.

Seorang murid mungkin lupa isi pelajaran, tetapi tidak akan lupa pada sosok guru yang membentuk karakternya. Itulah yang hilang ketika negara memaksa guru hidup dalam sistem kontrak jangka pendek.

Darmaningtyas (2004) menulis bahwa pendidikan di Indonesia semakin bergeser menjadi industri jasa yang melayani kebutuhan pasar tenaga kerja, bukan lagi sarana pembentukan manusia merdeka. Guru PPPK hanyalah korban dari sistem yang lebih besar: sistem yang memandang pendidikan sebagai instrumen ekonomi, bukan pilar kebudayaan.

  1. Dampak Sosial dan Psikologis : Pendidikan Tanpa Jiwa

Status kontrak juga melahirkan dampak sosial di lingkungan sekolah. Guru PPPK sering merasa inferior dibandingkan guru PNS. Mereka kurang dilibatkan dalam kebijakan sekolah, bahkan sering menjadi sasaran beban administratif. Kondisi ini menciptakan stratifikasi sosial baru di dunia pendidikan: ada guru “kelas satu” (PNS) dan guru “kelas dua” (PPPK).

Dari sisi psikologis, ketidakpastian status membuat banyak guru PPPK bekerja sekadar untuk memenuhi target. Mereka kehilangan rasa aman dan rasa memiliki terhadap lembaga.

Menurut survei Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI, 2024), 57% guru PPPK mengaku mengalami stres kerja akibat beban administratif dan ketidakpastian karier. Akibatnya, dedikasi guru terhadap murid perlahan memudar. Mereka hanya datang, mengajar, menilai, lalu pulang tanpa ruang untuk refleksi dan dialog batin dengan profesinya sendiri.

Inilah bentuk baru dari alienasi guru terasing dari makna pekerjaannya sendiri. Dalam istilah Karl Marx, alienasi terjadi ketika manusia kehilangan hubungan spiritual dengan hasil kerjanya. Guru PPPK adalah korban alienasi dalam sistem pendidikan yang terindustrialisasi.

  1. Krisis Etos dan Identitas Profesi

Etos guru terbentuk dari rasa memiliki terhadap misi pendidikan. Bila misi itu diputus oleh kontrak, maka hilanglah kontinuitas nilai dan keteladanan. Guru yang kontraknya dapat diperpanjang atau diputus kapan saja akan berpikir pragmatis : bagaimana agar aman, bukan bagaimana agar bermakna.

Paradoks pun muncul : di satu sisi, negara menuntut guru berkarakter dan berintegritas; di sisi lain, negara memperlakukan mereka secara tidak bermartabat. Bagaimana mungkin guru diminta menanamkan kejujuran bila mereka sendiri hidup dalam ketidakpastian sistem yang tidak jujur terhadap hak profesinya?

Guru adalah profesi ideologis. Ia bekerja dengan nilai, bukan dengan perjanjian. Karena itu, memindahkan sistem kerja industri ke dunia pendidikan adalah kesalahan epistemologis sekaligus moral. Negara yang menyejajarkan guru dengan buruh pabrik berarti negara yang lupa bahwa pendidikan adalah kerja kebudayaan, bukan produksi komoditas.

  1. Mencari Jalan Tengah : Reformasi Kebijakan dengan Kesadaran Filosofis

Kritik terhadap sistem PPPK bukan berarti menolak perbaikan administrasi atau pengangkatan guru honorer. Persoalannya bukan pada niat, tetapi pada paradigma. Negara perlu membangun sistem “pengangkatan berkelanjutan” yang mengakui guru sebagai profesi tetap, dengan hak dan martabat setara PNS, tanpa harus terikat pada model kontrak jangka pendek.

Ada beberapa langkah reformasi yang perlu dipertimbangkan :

  1. Reformulasi status hukum profesi guru agar tidak tunduk pada logika kontrak, melainkan logika pengabdian.
  2. Jaminan karier dan pensiun setara PNS, karena pengabdian guru bersifat permanen, bukan temporer.
  3. Sistem evaluasi berbasis etika profesi dan inovasi pedagogis, bukan sekadar angka kredit administratif.
  4. Program pembinaan berkelanjutan yang menumbuhkan etos “guru sebagai teladan moral”, bukan sekadar pekerja teknis.
  5. Penguatan otonomi profesi guru, agar mereka tidak hanya tunduk pada birokrasi, tetapi mampu menjadi subjek perubahan sosial.

Reformasi pendidikan sejati harus dimulai dari cara negara memperlakukan guru. Bila negara menempatkan guru sebagai abdi nilai, bukan buruh kontrak, maka pendidikan akan kembali menjadi jalan kebudayaan, bukan mesin produksi.

Pendidikan Bukan Mesin, Guru Bukan Buruh

Pendidikan sejatinya adalah proses spiritual yang panjang membangun manusia menjadi makhluk yang beradab, beriman, dan berpikir merdeka. Bila profesi guru dikontrakkan, maka yang tersisa hanyalah rutinitas tanpa ruh. Guru bukan operator sistem, melainkan pembentuk peradaban. Dan peradaban tidak pernah lahir dari kontrak kerja, tetapi dari panggilan jiwa.

Kebijakan PPPK mungkin lahir dari niat baik, tetapi bila tidak dikoreksi secara filosofis, ia akan menjadi bumerang bagi masa depan pendidikan nasional. Guru yang kehilangan martabat akan melahirkan generasi yang kehilangan arah. Maka, sebelum bangsa ini kehilangan jiwanya, sudah saatnya kita mengingat kembali pesan Ki Hajar Dewantara:

“Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.”

Kalimat ini tidak bisa dijalankan oleh guru kontrak, tetapi hanya oleh pendidik yang merasa terpanggil. Dan panggilan itu tidak bisa lahir dari perjanjian kerja, melainkan dari penghormatan negara terhadap profesi guru sebagai pilar peradaban bangsa.***

Komentar

Berita Terkini

Penyerahan mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Natuna di Kecamatan Pulau Seluan, Kabupaten Natun

KKN STAI Natuna 2025 Resmi Dilepas, 19 Mahasiswa Siap Mengabdi di Pulau Seluan

45 menit lalu

Bupati Aneng Tinjau Banjir Rob di Jalan Patimura, Minta Tim Tetap Siaga Hingga Air Surut

Pemkab Anambas Gelar Patroli Malam Antisipasi Banjir Rob, Personel Disebar di Titik Rawan

Pemkab Anambas Perkuat Kesiapsiagaan Hadapi Potensi Banjir Rob, Bupati Aneng Adakan Rapat

Banjir Rob Meningkat, Warga Pesisir Tanjungpinang Diminta Waspada hingga 13 Desember

Ranai Pos

Follow Us

  • Home
  • Nasional
  • Natuna
  • Seputar Kepri
  • Wisata
  • Opini
  • Galeri Foto
  • Tentang Kami
  • Contact
  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018 Ranai Pos. All Rights Reserved. Designed by Universal Webstudio

No Result
View All Result
  • Home
  • Nasional
  • Natuna
  • Seputar Kepri
  • Wisata
  • Opini
  • Galeri Foto
  • Iklan
  • Tentang Ranai Pos
  • Contact
  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018 Ranai Pos. All Rights Reserved. Designed by Universal Webstudio

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In