Bayangkan suatu pagi, Anda pergi ke pasar dan melihat harga cabai hanya Rp20. Sekilas terasa murah, tapi lalu Anda ingat — itu rupiah baru, hasil pemangkasan tiga nol dari nominal lama. Harga yang dulu Rp20.000 kini hanya Rp20. Rasanya seperti kembali ke masa silam, ketika seratus rupiah masih berharga. Namun di situlah letak daya magis sekaligus tantangan psikologis dari kebijakan redominasi rupiah.

Antara Nilai dan Angka
Secara ekonomi, redominasi tidak mengubah daya beli uang. Seribu rupiah lama sama nilainya dengan satu rupiah baru. Tetapi di alam bawah sadar manusia, angka bukan sekadar simbol matematis — ia mengandung makna sosial, emosi, dan kepercayaan.
Ketika jumlah nol dihapus, yang berubah bukan cuma catatan akuntansi, melainkan cara berpikir bangsa terhadap nilai.
Banyak orang merasa “uangnya mengecil” atau “harga menjadi murah,” padahal nilai riilnya tetap sama. Inilah fenomena yang disebut money illusion — kebingungan psikologis akibat perubahan nominal.
Namun di sisi lain, angka yang lebih ringkas juga memberi efek kebanggaan. Masyarakat bisa merasa mata uangnya lebih “terhormat”, sejajar dengan negara-negara maju yang memiliki nominal kecil tapi bernilai tinggi. Maka redominasi bukan hanya kebijakan teknis, tetapi juga psikoterapi nasional terhadap rasa percaya diri ekonomi.
Cermin Kesehatan Sosial Ekonomi
Secara sosiologis, uang adalah simbol kepercayaan sosial (social trust). Kita percaya selembar kertas bernilai karena negara menjaminnya, dan karena orang lain juga percaya hal yang sama. Ketika pemerintah mengubah sistem uang, yang diuji bukan cuma stabilitas fiskal, melainkan juga legitimasi sosial.
Jika kebijakan dilakukan di tengah ekonomi stabil dan komunikasi publik yang baik, masyarakat akan memaknainya sebagai tanda kemajuan. Tapi bila dilakukan saat inflasi tinggi atau kepercayaan pada pemerintah rendah, redominasi justru bisa ditafsirkan sebagai sinyal bahaya — semacam upaya menutupi masalah.
Karena itu, redominasi adalah ujian kejujuran negara terhadap rakyatnya. Ia membutuhkan ketenangan makroekonomi, literasi publik yang merata, dan sosialisasi yang manusiawi.
Mengubah Budaya Uang
Redominasi juga berpotensi mengubah budaya transaksi dan konsumsi.
Nominal yang kecil bisa membuat sebagian orang merasa harga-harga menjadi murah, lalu mendorong konsumsi berlebih. Tapi pada saat yang sama, bisa muncul kesadaran baru untuk berpikir lebih efisien: menulis angka lebih singkat, menghitung lebih cepat, mencatat lebih sederhana.
Lebih dalam lagi, perubahan ini menyentuh cara kita memaknai kekayaan.
Masyarakat Indonesia selama ini sering mengaitkan “kebesaran angka” dengan “kebesaran status sosial.” Orang merasa lebih kaya ketika melihat banyak nol di rekeningnya. Redominasi menantang logika itu: bahwa kekayaan bukan pada banyaknya nol, melainkan pada daya beli, stabilitas, dan martabat ekonomi.
Menuju Nalar Ekonomi Baru
Bila redominasi dijalankan dengan tepat, ia dapat menjadi simbol lahirnya nalar ekonomi baru bangsa. Kita belajar bahwa nilai sejati uang bukan pada besar kecilnya angka, tetapi pada kepercayaan kolektif yang menopangnya. Kita juga diingatkan bahwa kebijakan ekonomi, betapapun teknis, selalu berakar pada psikologi sosial dan budaya.
Redominasi rupiah bukan sekadar mengganti uang, tapi menggugah kesadaran baru: bahwa stabilitas ekonomi memerlukan rasionalitas, kedisiplinan, dan rasa percaya — tiga hal yang selama ini sering hilang di balik gemerincing angka dan ilusi nominal.
Uang adalah bahasa sosial. Dan melalui redominasi, pemerintah seolah sedang mengajarkan ulang tata bahasanya: bahwa nol yang sedikit bukan berarti miskin, dan angka kecil bukan berarti lemah.
Yang benar-benar bernilai adalah kepercayaan, keteraturan, dan akal sehat dalam mengelola ekonomi.
Dengan begitu, redominasi bukan hanya peristiwa moneter, tetapi juga pembelajaran nasional tentang arti nilai bagi uang, dan bagi bangsa.***





Komentar