Ketika Purbaya Yudhi Sadewa berbicara, banyak orang percaya ia adalah salah satu ekonom paling rasional dan jernih di republik ini. Gagasannya lugas, bahasanya sederhana, dan optimismenya menular. Dalam sejumlah forum publik, ia menegaskan bahwa Indonesia masih punya peluang besar untuk keluar dari jebakan pertumbuhan rendah—asal kebijakan fiskal dan industri dijalankan dengan disiplin serta visi jangka panjang.

Namun pertanyaannya, Purbaya bisa buat apa?
Optimisme Purbaya memang menenangkan di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu. Tetapi di balik keyakinan itu, realitas di lapangan menunjukkan bahwa sistem ekonomi Indonesia kini ibarat mesin tua yang terus dipaksa melaju di tanjakan curam. Ia boleh saja memegang kendali di salah satu sektor strategis, tetapi struktur ekonomi Indonesia sudah lama terjebak dalam tiga penyakit kronis: ketergantungan, ketimpangan, dan korupsi sistemik.
Ketergantungan Struktural
Indonesia tampak tumbuh, tetapi tumbuhnya bergantung pada modal asing, bahan baku impor, dan ekspor komoditas mentah. Setiap kali rupiah melemah, industri domestik bergetar. Setiap kali harga global naik, kita berpesta; ketika turun, kita terpuruk.
Purbaya bisa memperbaiki tata kelola BUMN, menata fiskal, atau memperkuat sektor keuangan. Namun langkah itu hanya mempercantik atap rumah yang fondasinya retak. Tanpa keberanian politik untuk memutus ketergantungan pada ekonomi ekstraktif dan membangun industri bernilai tambah tinggi, seluruh rencana strategis akan berakhir sebagai dokumen indah di meja rapat.
Ketimpangan yang Membatu
Kesenjangan sosial tetap menjadi borok lama yang sulit sembuh. Satu persen kelompok atas menguasai hampir separuh kekayaan nasional. Angka kemiskinan memang menurun, tetapi ketimpangan kesempatan tak kunjung membaik.
Purbaya bisa mendorong efisiensi fiskal atau menjaga stabilitas makro, tetapi itu tak menyentuh akar masalah: pembangunan kita tidak adil sejak dalam konsep.
Pulau Jawa masih menjadi pusat segalanya—industri, pendidikan, modal, dan infrastruktur—sementara wilayah perbatasan, pedalaman, dan pesisir hanya menjadi catatan kaki dalam narasi pertumbuhan nasional.
Selama logika pembangunan masih berpusat pada kepentingan urban, wacana pemerataan hanya akan menjadi retorika moral yang tidak berdaya.
Korupsi Sistemik
Ekonomi tak mungkin sehat bila politik tetap kotor. Bagaimana kebijakan ekonomi bisa rasional bila banyak keputusan diambil bukan berdasarkan kepentingan publik, melainkan transaksi kekuasaan?
Purbaya mungkin profesional dan idealis. Namun sistem di sekelilingnya telah lama terinfeksi patronase dan konflik kepentingan. Ia mungkin ingin mempercepat reformasi ekonomi, tetapi sering kali terhambat oleh meja birokrasi yang lebih tunduk pada tekanan politik ketimbang kalkulasi rasional. Dalam kondisi seperti ini, bahkan niat baik pun sering kalah oleh struktur yang korup.
Antara Keberanian dan Kenyataan
Bukan berarti Purbaya tak perlu mencoba. Indonesia tetap butuh teknokrat rasional di tengah kebisingan populisme ekonomi. Tetapi berharap satu orang—betapapun cerdas dan tulusnya—mampu membenahi ekonomi nasional adalah ilusi. Sistem yang rusak tak bisa diperbaiki hanya dengan moral personal.
Kita memerlukan lebih dari sekadar reformasi ekonomi. Kita membutuhkan revolusi tata kelola, yakni perombakan menyeluruh terhadap birokrasi, transparansi anggaran, dan hubungan politik-bisnis. Reformasi tanpa keberanian memutus rantai rente hanya akan melahirkan wajah lama dalam bungkus baru.
Harapan yang Realistis
Purbaya bisa berbuat banyak, tetapi tidak segalanya. Ia bisa menyehatkan neraca BUMN, memperbaiki tata kelola fiskal, atau menekan defisit anggaran. Namun selama politik masih menjadi pasar kekuasaan, hukum bisa dinegosiasikan, dan masyarakat lebih sibuk menunggu bantuan ketimbang membangun daya sendiri, ekonomi Indonesia akan tetap pincang—bukan karena kurangnya ahli, tetapi karena terlalu banyak kepentingan.
Pertanyaan “Purbaya bisa buat apa?” sesungguhnya menggugah kesadaran kolektif kita : bahwa perubahan ekonomi tidak mungkin lahir dari satu figur, seberapa pun hebatnya, tanpa dukungan sistem yang bersih dan masyarakat yang sadar haknya.
Purbaya bisa menjadi penggerak, tetapi tidak akan berhasil sendirian. Ia butuh negara yang jujur, birokrasi yang sederhana, dan warga negara yang berdaya.
Tanpa itu semua, optimisme ekonomi akan tetap tinggal di atas kertas—seperti banyak rencana besar yang kita dengar, tetapi jarang kita rasakan.***





Komentar