KETIKAmasyarakat dunia mulai memusatkan perhatian pada Laut Cina Selatan, Indonesia seharusnya mempertegas kehadirannya di Natuna, bukan hanya dengan patroli militer dan pernyataan diplomatik, tetapi juga dengan keberpihakan nyata terhadap masyarakatnya. Salah satu langkah strategis dan berkeadilan yang kini terus disuarakan adalah menjadikan Natuna sebagai provinsi baru, terpisah dari Provinsi Kepulauan Riau.
Isu ini bukan sebatas wacana administratif pemekaran daerah. Ini menyangkut nasib rakyat di batas utara negara, dan lebih jauh lagi, menyangkut kedaulatan bangsa dan keadilan sosial sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan UUD 1945. Dengan kata lain: siapa yang menjaga republik ini dari garis depan, seharusnya juga dijaga dan diberdayakan oleh republik ini dari pusat kekuasaan.
Jantung Geopolitik dan Sumber Daya
Letak Natuna sangat strategis—berada di jalur pelayaran internasional yang menghubungkan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Lebih dari itu, wilayah ini menyimpan cadangan gas bumi kelas dunia dan menjadi bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, yang kerap diganggu oleh klaim sepihak Tiongkok melalui Nine-Dash Line.
Namun patut ditegaskan, Indonesia dapat mengklaim wilayah laut Natuna sebagai miliknya justru karena di pulau-pulau itu ada masyarakat Natuna yang hidup, tinggal, berbahasa Indonesia, dan menyatakan diri sebagai bagian dari Republik Indonesia. Inilah dasar antropologis sekaligus geopolitik yang memperkuat posisi Indonesia di hadapan dunia.
Ironisnya, masyarakat yang menjadi penyangga kedaulatan ini justru tidak mendapatkan bagian yang layak dari kekayaan alam yang mereka jaga. Jaringan listrik masih tak stabil, transportasi antarpulau terhambat, dan harga barang kebutuhan pokok melambung. Bahkan nelayan lokal kerap dihadapkan pada pembatasan ruang tangkap dan kalah bersaing dengan kapal-kapal besar yang mendapat konsesi dari Jakarta.
Realitas Ketimpangan Struktural
Selama ini, Natuna hanya menjadi “anak tiri administratif” di bawah bayang-bayang pusat pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau yang berpusat di Tanjungpinang dan Batam. Jarak geografis dan sosiokultural yang jauh menjadikan pembangunan di Natuna terasa asing dan tidak kontekstual. Aspirasi masyarakat sering kali tak sampai karena alur birokrasi yang terlalu panjang.
Padahal, sebagai daerah perbatasan dan kepulauan, Natuna memiliki tantangan dan kebutuhan khas: transportasi laut dan udara yang layak, pendidikan tinggi berbasis kelautan, layanan kesehatan spesialis, hingga manajemen perikanan dan energi yang inklusif. Semua itu sulit dipenuhi tanpa adanya kewenangan otonom yang lebih tinggi, seperti yang hanya dimiliki oleh sebuah provinsi.
Dengan menjadi provinsi, Natuna dapat merancang pembangunan yang lebih responsif, partisipatif, dan sesuai dengan karakteristik lokalnya. Dana yang selama ini tersedot ke pusat provinsi bisa langsung dikelola oleh pemerintah daerah tingkat provinsi di Natuna untuk mengatasi kesenjangan.
Pilar Pertahanan yang Terlupakan
Dalam banyak pidato resmi, Natuna disebut sebagai “garda terdepan” NKRI. Namun dalam praktiknya, garda ini seperti tidak diberi senjata dan perisai yang cukup. Keamanan laut memang ditingkatkan dengan kehadiran TNI AL dan Bakamla, tetapi pertahanan yang sesungguhnya adalah rakyatnya: mereka yang tinggal di sana, hidup dari laut, dan menjaga eksistensi bangsa dari pinggiran.
Menjadikan Natuna sebagai provinsi berarti memperkuat posisi strategis Indonesia dalam sistem pertahanan nasional. Provinsi yang berdiri sendiri akan lebih cepat dan fleksibel dalam mengembangkan sistem pertahanan berbasis kewilayahan, termasuk sinergi antara aparat negara dan masyarakat lokal. Kesiapsiagaan akan meningkat jika didukung dengan infrastruktur, kewenangan, dan anggaran yang memadai.
Mengamalkan Pancasila, Menghadirkan Negara
Pembentukan Provinsi Natuna bukan hanya soal administratif, tapi soal keberpihakan ideologis. Sila kelima Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, bukan sekadar slogan. Ia menuntut negara untuk hadir secara adil, tanpa diskriminasi geografis.
Natuna adalah ujian nyata bagi keberpihakan negara: apakah negara hanya adil kepada daerah yang dekat dengan pusat, ataukah mampu menghadirkan keadilan sampai ke batas utara republik? Jika masyarakat Natuna telah membuktikan nasionalismenya secara diam-diam selama puluhan tahun, apakah negara tidak malu jika membalasnya dengan ketidakpedulian yang terang-terangan?
Penutup: Saatnya Negara Mendengar Pinggiran
Natuna bukan sekadar nama pulau di utara. Ia adalah wajah Indonesia di hadapan dunia internasional. Ia adalah pagar bangsa. Ia adalah suara rakyat yang selama ini dipinggirkan, tetapi setia menjaga republik.
Menjadikan Natuna sebagai provinsi bukanlah bentuk keistimewaan, melainkan koreksi atas ketimpangan, penghargaan atas loyalitas, dan investasi strategis jangka panjang dalam kedaulatan bangsa. Jika tidak sekarang, kapan lagi? Jangan tunggu konflik. Jangan tunggu bencana. Jangan tunggu rakyat lelah mencintai negara yang tak benar-benar hadir untuk mereka.***





Komentar