Di tulis oleh : H. Tirtayasa, S.Ag., M.A., C.NLP., C.LCWP. (Mahasiswa Program Studi Doktor PAI Universitas Muhammadiyah Malang)
Dalam pemikiran Islam, ada dua sumber ilmu, yaitu wahyu dan akal. Keduanya tidak boleh bertentangan. Manusia diberi kebebasan dalam mengembangkan akalnya dengan catatan bahwa dalam pengembangannya tetap mengikuti tuntunan wahyu dan tidak bertentangan dengan syariat. Atas dasar itu ilmu terbagi dua bagian, yaitu ilmu yang bersifat abadi (perennial knowledge) yang kebenarannya bersifat mutlak (absolute) karena bersumber dari wahyu Allah; dan ilmu yang sifat perolehan (acquired knowledge) yang kebenarannya bersifat nisbi (relative) karena bersumber dari akal pikiran manusia (Assegaf, 2019).
Islam merupakan agama yang memiliki kandungan ajaran yang multidimensional mulai dari komponen teologi (akidah), fikih (hukum), ekonomi, politik, sosial, budaya, astronomi, matematika, fisika, kimia, sejarah, psikologi, pendidikan, geografi, biologi, kedokteran, farmasi, komunikasi, informasi, teknik, dan sebagainya. Semua komponen ini membentuk satu keutuhan ajaran Islam yang paling sempurna dibandingkan dengan ajaran-ajaran agama lainnya. Masing-masing komponen tersebut saling mengisi, memberikan informasi, mempersepsi, dan melengkapi guna mendapatkan pemahaman Islam yang paling memuaskan dalam merespon tuntutan dan tantangan baru yang sarat dengan nilai-nilai ilmiah (Qomar, 2020).
Upaya mendalami semua disiplin ilmu itu secara keseluruhan tidak mungkin dilakukan oleh seseorang karena adanya keterbatasan-keterbatasan. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang mampu mendalami semua komponen keilmuan yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan hadis, meskipun seseorang itu memiliki kemampuan super jenius (dhabid tam).
Oleh karena itu, suatu masalah perlu dipecahkan dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu agar dapat dipahami secara mendalam, meyakinkan secara rasional, dan komprehensif. Dengan demikian dibutuhkan kajian Islam yang komprehensif melalui pendekatan multidisipliner (Qomar, 2020).
Model kajian demikian sekarang menjadi kebutuhan yang semakin mendesak seiring dengan perkembangan sains dan teknologi modern serta dinamika masyarakat yang semakin terpelajar. Karena itu, kajian multidisipliner, termasuk di dalamnya adalah kajian Pendidikan Agama Islam (PAI), menjadi sangat penting dalam membantu menguraikan pemahaman terhadap ketentuan-ketentuan ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis (Qomar, 2020).
Pada sisi lain, belakangan ini dunia pendidikan menghadapi berbagai tantangan yang sangat kompleks. Tantangan itu berasal dari dalam maupun dari luar. Tantangan-tantangan ini merupakan stimulus yang menghendaki adanya respons dari dunia pendidikan termasuk PAI yang harus mengambil sikap tertentu sebagai refleksi dari karakteristiknya sendiri (Rahmat, 2017).
Tantangan ini harus direspons oleh PAI. PAI harus mampu menghasilkan kepribadian utama, sebuah bentuk kepribadian yang didasari keimanan dan ketakwaan kepada Allah, cerdas dalam berpikir, berwawsan luas, berjiwa humanis, dan berpendirian teguh dalam menghadapi berbagai tantangan baik dari dalam maupun dari luar. Namun pada kenyataannya PAI sendiri sedang menghadapi berbagai macam problem yang tidak ringan, antara lain: problem profesionalisme pendidik, problem materi, problem metode, problem pendekatan dan problem hasil pendidikan. Untuk mengatasi problem-problem tersebut perlu ditemukan solusinya. Salah satu solusinya adalah PAI multidisipliner (Rahmat, 2017).
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk membahas lebih jauh tentang model PAI multidisipliner. Adapun tujuan tujuan tulisan ini adalah mendeskripsikan model PAI multidisipliner.
Hakekat Model PAI Multidisipliner
Untuk dapat memahami hakekat model Pendidikan Agama Islam multidisipliner maka berikut akan dibahas lebih dulu tentang hakekat model, hakekat Pendidikan Agama Islam (PAI), dan hakekat multidisipliner.
Hakekat Model
Model berarti pola (contoh, acuan, ragam, dan sebagainya) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan (KBBI Daring, 2022). Secara umum model diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan (Majid, 2013). Model adalah bentuk representasi akurat sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang bertindak berdasarkan model itu (Suprijono, 2009).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa hakekat model adalah pola, acuan, kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu tindakan atau kegiatan.
Hakekat Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Agama Islam terdiri dari tiga kata yaitu pendidikan, agama, dan islam. Ada tiga kata Arab untuk menyebut pendidikan, yaitu tarbiyah, ta’lim dan ta’dib (Ahyat, 2017; Anwar, 2014). Kata tarbiyah terbentuk dari kata rabba, seperti dalam kalimat rabba ash-shabi hatta adrak (Ma’luf, 1986), yang berarti memelihara, mengasuh, mendidik (Munawwir, 1997).
Tarbiyah juga merupakan kata benda bentukan (ism musytaqq) dari kata kerja rabbaa, yang sama-sama berarti memelihara, mengasuh, mendidik (Ma’luf, 1986; Munawwir, 1997). Dengan demikian tarbiyah berarti pendidikan, pengasuhan, pemeliharaan (Munawwir, 1997). Dalam Mu’jam Al-Lughah Mu’jam Al-Lughah Al-Arabiyah Al-Mu’ashirah (A Dictionary of Modern Written Arabic), kata tarbiyah diartikan sebagai education (pendidikan), upbringing (pengembangan), teaching (pengajaran), instruction (perintah), pedagogy (pembinaan kepribadian), breeding (memberi makan), raising (of animals) (menumbuhkan) (Pido, 2018; Wehr, 1974).
Kata ta’lim adalah kata benda bentukan dari kata kerja ‘alima yang mendapat tambahan syaddah pada ‘ain fi’l-nya, yakni ‘allama yang berarti ja’alah ya’lamuha (membuatnya tahu) (Ma’luf, 1986), atau singkatnya, mengajar (Munawwir, 1997). Dengan demikian, ta’lim berarti pengajaran (Munawwir, 1997). Sedangkan kata ta’dib terbentuk dari kata kerja adaba yang mendapat tambahan syaddah pada ‘ain fi’l-nya, yaitu addaba yang berarti ‘allamah al-adab (mengajarkannya budi pekerti) (Ma’luf, 1986). Kata ta’dib berarti pendidikan (Munawwir, 1997). Dalam Mu’jam Al-Lughah Mu’jam Al-Lughah Al-Arabiyah Al-Mu’ashirah (A Dictionary of Modern Written Arabic), kata ta’lim diartikan information (pemberitahuan tentang suatu), advice (nasihat), instruction (perintah), direction (pengarahan), teaching (pengajaran), training (pelatihan), schooling (pembelajaran), educational (kependidikan), dan apprenticeship (pekerjaan sebagai magang, masa belajar suatu keahlian (Pido, 2018; Wehr, 1974).
Kata ta’dib berasal dari kata addaba, yu’addibu, ta’diban yang dapat berarti education (pendidikan), discipline (disiplin, patuh, dan tunduk pada aturan), punishment (peringatan atau hukuman), dan chastisement (hukuman-penyucian) (Pido, 2018; Wehr, 1974). Kata ta’dib lazim diterjemahkan dengan pendidikan sopan santun, tata krama, adab, budi pekerti, akhlak, moral, dan etika. Kata ta’dib seakar dengan kata adab yang memiliki arti pendidikan peradaban atau kebudayaan. Artinya, orang yang berpendidikan adalah orang yang berperadaban dan peradaban yang berkualitas dapat diraih melalui pendidikan (Mujib, 2006).
Pendidikan berasal dari kata didik yang mendapat imbuhan pe-an yang berarti proses, cara, perbuatan mendidik (KBBI Daring, 2022). Dalam kajian dan pemikiran tentang pendidikan terlebih dahulu perlu diketahui dua istilah yang hampir sama bentuknya dan sering digunakan dalam dunia pendidikan, yaitu pedagogi dan paedagoiek. Pedagogi berarti pendidikan, sedangkan paeda artinya ilmu pendidikan. Pedagogik atau ilmu pendidikan ialah ilmu yang menyelidiki, merenung tentang gejala-gejala perbuatan mendidik. Istilah ini berasal dan kata pedagogia (Yunani) yang berarti pergaulan dengan anak-anak. Sedangkan, yang sering menggunakan istilah paida-gogos adalah seorang pelayan (bujang) pada zaman Yunani Kuno, yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak ke dan dari sekolah.
Paidagogos berasal dari kata paedos (anak) dan agoge (saya membimbing, memimpin). Perkataan paidagogos yang pada mulanya berarti pelayan, kemudian berubah menjadi pekerjaan mulia. Karena, pengertian pai (dari paidagogos) berarti seorang yang tugasnya membimbing anak di dalam pertumbuhannya ke arah mandiri dan bertanggung jawab (Anwar, 2015).
Dalam pengertian yang sederhana dan umum, makna pendidikan adalah usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan, baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan. Pendidikan juga diartikan sebagai aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya, yaitu rohani (pikir, karsa, rasa, cipta, dan budi nurani), dan jasmani (pancaindra serta keterampilan-keterampilan). Dengan kata lain, pendidikan dapat diartikan sebagai hasil peradaban bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan hidup bangsa itu sendiri (nilai dan norma masyarakat), yang berfungsi sebagai filsafat pendidikannya atau sebagai cita-cita dan pernyataan tujuan pendidikannya (Anwar, 2015).
Secara terminologis, para ahli pendidikan mendefinisikan kata pendidikan dari berbagai tinjauan. Hasan Langgulung melihat arti pendidikan dari sisi fungsi pendidikan, yaitu: pertama, dari segi pandangan masyarakat, pendidikan merupakan upaya pewarisan kebudayaan yang dilakukan oeh generasi tua kepada generasi muda agar kehidupan masyarakat tetap berkelanjutan. Kedua, dari segi kepentingan individu, pendidikan diartikan sebagai upaya pengembangan potensi-potensi yang tersembunyi dan dimiliki manusia (Elihami dan Syahid, 2018).
Sedangkan definisi pendidikan yang disandarkan pada makna dan aspek serta ruang lingkungannya dapat dilihat apa yang dikemukakan oleh Ahmad D. Marimba, bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani terdidik menuju terbentuknya kepribadian utama (Elihami dan Syahid, 2018).
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Republik Indonesia, 2003).
Kata agama dalam bahasa Inggris disebut religion. Kata religion sendiri terambil dari bahasa Latin religio yang berakar pada kata relegere yang mengandung arti mengumpulkan, membaca. Menurut pendapat lain kata itu berasal dari religare yang berarti mengikat. Dalam pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal. Religius berarti bersifat religi, bersifat keagamaan, yang bersangkut paut dengan religi, agamawi, dan agamis (Bakhtiar, 2018; Echols dan Shadily, 1992; Mahfuz, 2019).
Secara etimologis kata agama berasal dari bahasa Sanskerta, tersusun dari dari dua kata, yaitu a berarti tidak dan gam yang berarti pergi. Jadi agama artinya tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi secara turun temurun. Hal ini menunjukkan pada salah satu sifat agama, yaitu diwarisi secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Versi lain menyebutkan bahwa kata agama tersusun dari a yang berarti tidak dan gama berarti kacau. Jadi agama artinya tidak kacau. Pendapat lain lagi mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci. Agama dalam bahasa Arab disebut din, yang mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan. Agama memang membawa peraturan-peraturan yang merupakan hukum, yang harus dipatuhi orang. Din dalam bahasa Semit juga berarti undang-undang atau hukum. Intisari yang terkandung dalam istilah-istilah di atas adalah ikatan. Agama mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Secara terminologis, agama merupakan seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya. (Bakhtiar, 2018).
Meskipun agama, din dan religion, masing-masing mempunyai arti etimologi sendiri-sendiri, mempunyai riwayat dan sejarahnya sendiri-sendiri, namun dalam pengertian terminologi, ketiga istilah tersebut memiliki makna yang sama yaitu: pertama, agama, din, religion adalah satu sistem credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya Yang Maha Mutlak di luar diri manusia; kedua, agama juga adalah sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya Maha Mutlak tersebut; dan ketiga, agama juga adalah satu sistem norma (tata kaidah atau tata aturan) yang mengatur hubungan manusia sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaktub di atas (Bakhtiar, 2018; Shalahuddin, 2019).
Secara eksistensial Islam adalah nama agama. Secara etimologis kata islam berasal dari bahasa Arab yang merupakan kata turunan dari kata salima-yaslamu-salaman wa salamatan. Kata dasar salima berarti sejahtera, tidak tercela, dan tidak cacat. Dari kata itu terbentuk kata salamat yang dalam bahasa Indonesia menjadi selamat. Dari akar kata salima juga terbentuk kata-kata salm, silm yang berarti kedamaian, kepatuhan, penyerahan (diri), salam yang berarti keselamatan, taslim yang berarti penyerahan, sullam yang berarti titian, dan salama yang berarti memelihara (Rahmat, 2017; Sudrajat et al., 2016).
Kata islam terbentuk dari kata aslama-yuslimu-islamanأyang berarti ketundukan, kepatuhan, agama Islam (Munawwir, 1997), sama dengan sallama yang berarti menyerahkan sesuatu, menyerahkan diri pada kekuasaan orang lain, meninggalkan orang di bawah kekuasaan orang lain, meninggalkan (seseorang) bersama (musuhnya), berserah diri kepada Tuhan, aslama juga berarti membayar di muka. Istaslama berarti menyerah, meyerahkan diri, pasrah, memasuki perdamaian. Tasallama berarti menjadi Islam. Islam juga didefinisikan sebagai ungkapan kerendahan hati atau kepasrahan dan ketaatan secara lahiriyah kepada hukum Tuhan serta mewajibkan diri untuk melakukan atau mengatakan apa yang telah dilakukan dan dikatakan oleh Nabi saw. Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa arti yang dikandung perkataan islam ini adalah kedamaian, kesejahteraan, keselamatan, penyerahan (diri), ketaatan dan kepatuhan, ketundukan, dan agama Islam (Sudrajat et al., 2016).
Secara terminologis agama Islam adalah agama wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada rasul-Nya untuk disampaikan kepada segenap umat manusia sepanjang masa dan setiap persada, suatu sistem keyakinan dan tata ketentuan yang mengatur segala perikehidupan asasi manusia dalam pelbagai hubungan baik dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam lainnya yang bertujuan untuk meraih rida Allah, rahmat bagi segenap alam, kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Islam adalah agama yang berisi kaidah hidup yang diturunkan kepada manusia sejak manusia digelar ke muka bumi, dan terbina dalam bentuknya yang terakhir dan sempurna dalam Al-Qur’an yang suci yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi-Nya yang terakhir, yakni Nabi Muhammad saw., satu kaidah hidup yang memuat tuntunan yang jelas dan lengkap mengenai aspek hidup manusia, baik spritual maupun material (Anshari, 1992; Bakhtiar, 2018).
Para pakar memberikan definisi Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai berikut. Menurut Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, ajaran agama Islam, dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa. Dalam hal ini, pendidikan agama Islam merupakan suatu aktivitas yang disengaja untuk membimbing manusia dalam memahami dan menghayati ajaran agama Islam serta dibarengi dengan tuntutan untuk menghormati penganut agama lain (Elihami dan Syahid, 2018).
Menurut Zakiyah Daradjat, PAI adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Lalu menghayati tujuan, yang pada akhirnya mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup. Di sini, Pendidikan Agama Islam tidak hanya bertugas menyiapkan peserta didik dalam rangka memahami dan menghayati ajaran Islam namun sekaligus menjadikan Islam sebagai pedoman hidup (Elihami dan Syahid, 2018).
Menurut Azizy, esensi pendidikan yaitu adanya proses transfer nilai, pengetahuan, dan keterampilan dari generasi tua kepada generasi muda agar generasi muda mampu hidup. Oleh karena itu ketika kita menyebut pendidikan agama Islam, maka akan mencakup dua hal yaitu pertama, mendidik siswa untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai atau akhlak Islam; dan kedua, mendidik siswa-siswi untuk mempelajari materi ajaran Islam subjek berupa pengetahuan tentang ajaran Islam (Elihami dan Syahid, 2018).
Menurut Ahmad Supardi, PAI merupakan pendidikan yang berdasarkan Islam atau tuntunan agama Islam dalam membina dan membentuk pribadi muslim yang bertaqwa kepada Allah, cinta kasih sayang pada orang tuanya dan sesama hidupnya dan juga kepada tanah airnya sebagai karunia yang diberikan oleh Allah. Dalam hal ini PAI adalah suatu bimbingan yang dilakukan untuk membentuk pribadi muslim yang cinta kepada tanah air dan sesama hidup (Elihami dan Syahid, 2018).
Menurut Muhaimin, PAI adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani bertakwa berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Al-Qur’an dan hadis, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman (Fanreza, 2017; Muhaimin, 2004).
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil pemahaman bahwa hakekat PAI adalah usaha yang secara sadar dilakukan oleh pendidik dalam rangka menyiapkan peserta didik agar mereka memahami, meyakini dan mengamalkan ajaran agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan pelatihan, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yaitu menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah dan berakhlak mulia.
Hakekat Multidisipliner
Multidisipliner adalah penggabungan beberapa disiplin ilmu untuk bersama-sama mengatasi masalah tertentu. Multidisipliner adalah suatu pendekatan yang mengacu pada berbagai sudut pandang ilmu. Pendekatan multidisipliner merupakan pengembangan suatu disiplin dengan memanfaatkan bantuan dari ilmu-ilmu lainnya, seperti politik, ekonomi, manajemen, hukum, sosial, dan lain sebagainya. Multidisipliner menyarankan tentang penggunaan sejumlah ilmu, lebih dari dua ilmu berbeda yang dipakai untuk manganalisis masalah yang sama.
Pendekatan multidisipliner berarti berupaya menggabungkan beberapa disiplin untuk menyelesaikan masalah tertentu. Pendekatan multidispliner adalah pelibatan berbagai metodologi pendekatan yang berbeda dari disiplin keilmuannya, yang dianggap mampu memecahkan permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi (Fitri, et al., 2020; Rahmat, 2017; Sufratman, 2022).
Melsen menyatakan bahwa multidisipliner berarti kerja sama antara ilmu pengetahuan yang masing-masing tetap berdiri sendiri. Kaelan menjelaskan bahwa multidisipliner merupakan interkoneksi antar satu ilmu dengan ilmu lain namun masing-masing bekerja berdasarkan disiplin dan kerjanya sendiri. Maka pendekatan multidisipliner merupakan pendekatan dalam pemecahan suatu masalah dengan menggunakan tinjauan berbagai sudut pandang banyak ilmu yang relevan. Pendekatan multidisipliner ini menekankan pada tinjauan multiperspektif ilmu yang terkait dengan masalah yang dipecahkan. Konsekuensinya, tumbuh model pemecahan masalah yang banyak dan sebanyak ilmu yang digunakan dalam mempersepsi masalah (Fitri et al., 2020; Qomar, 2020).
Pendekatan multidisipliner ini memiliki nilai guna tinggi. Melalui pendekatan multidisipliner akan segera terlihat betapa banyaknya solusi dan kaya cara pandang yang dapat ditawarkan untuk memecahkan suatu masalah karena masing-masing disiplin memberikan kontribusi pemecahan masalah secara mandiri (Qomar, 2020).
Berdasarkan uraian tentang hakekat pendidikan, agama, Islam, dan multidisipliner di atas maka dapat diambil pemahaman bahwa hakekat PAI multidisipliner adalah usaha yang secara sadar dilakukan oleh pendidik dalam rangka menyiapkan peserta didik agar mereka memahami, meyakini dan mengamalkan ajaran agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan pelatihan, dengan menggunakan tinjauan berbagai sudut pandang banyak ilmu yang relevan, yang saling bekerja sama, namun tetap berdiri sendiri, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yaitu menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah dan berakhlak mulia.
PAI multidisipliner juga dipahami sebagai PAI yang dalam pemecahan masalahnya dilakukan melalui berbagai pendekatan disiplin ilmu. Hal ini berarti bahwa PAI multidisipliner menggunakan berbagai sudut pandang banyak ilmu yang relevan (pendekatan historis atau sejarah, antropologi, sosiologi, dan lain-lain). Dengan demikian diharapkan PAI mampu mewarnai setiap sisi kehidupan, tidak monoton sebagai pembelajaran berupa taabbud secara ritual semata (Fitri, et al., 2020). PAI dengan pendekatan multidisipliner dipahami sebagai suatu pendekatan yang berusaha membangun konsep PAI dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu agama Islam (normatif perennialis), sejarah, filsafat, psikologi, sosiologi, manajemen, ilmu pengetahuan, dan teknologi khususnya Teknologi Informasi, kebudayaan, etika, politik, dan hukum (Nata, 2010).
Dengan demikian dapat dipahami pula bahwa hakekat model PAI multidisipliner adalah adalah pola, acuan, kerangka konseptual PAI yang menggunakan berbagai sudut pandang banyak ilmu yang relevan, yang saling bekerja sama, namun tetap berdiri sendiri, yang dijadikan pedoman dalam kegiatan PAI guna terwujudnya manusia yang beriman, bertakwa kepada Allah dan berakhlak mulia.
Signifikansi PAI Multidispliner
Seiring dengan sasaran PAI yang multidimensional, seorang pendidik yang mendemonstrasikan ajaran Islam kepada peserta pendidik maupun masyarakat dituntut untuk memiliki dan menguasai multiperspektif kelimuan sesuai dengan pokok permasalahan yang sedang dikaji. Dengan demikian PAI mampu memberikan pencerahan pengetahuan dan wawasan yang komprehensif dan holistik. Sebaliknya PAI yang disampaikan kepada peserta didik maupun masyarakat yang hanya mengandalkan monoperspektif, maka tampilannya menjadi kaku dan wawasannya sangat terbatas, sehingga menjenuhkan, membosankan, serta membelenggu pengetahuan dan wawasan mereka (Qomar, 2020).
Masalah yang bersifat multidimensional penyelesaiannya tidak mungkin hanya menggunakan pendekatan keilmuan secara tunggal. Pendekatan ini tidak akan mampu menyelesaikan masalah dengan tepat dan benar. Semua cabang ilmu diharapkan berkontribusi dalam memecahkan masalah yang kompleks tersebut (Asy’arie, 2006).
Kebersamaan ilmu dalam memecahkan masalah memberikan pengayaan cara-cara menyelesaikan masalah meskipun sangat berbeda dan bervariasi tetapi masih dapat diintegrasikan dengan maksud merealisasikan tujuan yang sama (Qomar, 2020).
Pendekatan multidisipliner ketika dilacak akar filsafatnya dalam konteks Islam, dapat ditemukan pada pemikiran dan filsuf Arab pertama, Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi. Ia adalah filsuf pertama yang merumuskan konsep keselarasan agama dengan filsafat (at-taufiq bain ad-din wa al-falsafah). Konsep ini selain mengisi kekosongan dalam filsafat Yunani, juga menyangkal tuduhan bahwa filsafat itu anti agama. Padahal keselarasan antara agama dan filsafat didasarkan pada tiga hal, yaitu ilmu agama merupakan bagian dari filsafat; wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat itu saling bersesuaian; dan menuntut ilmu secara logika diperintahkan agama (Qomar, 2020; Syarif, 1998).
Konsep keselarasan agama dan filsafat yang digagas Al-Kindi memiliki pengaruh pada para filsuf Andalusia seperti Ibnu Masrah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd. Bahkan Ibnu Thufail mentransformasikan konsep keselarasan agama dan filsafat itu ke dalam sebuah roman yang masyahur yang berjudul Hayy Ibn Yaqzhan (Hidup Seorang Anak Kesadaran) (Al-Maqshud, 1993; Qomar, 2020).
Keselarasan agama dengan filsafat dalam perkembangannya mengarah pada keselarasan antara agama dan sains (ilmu pengetahuan), sebab sains merupakan produk filsafat. Terdapat ungkapan kuno philosophy is mother of sciences (filsafat adalah induk dari ilmu pengetahuan) atau philosophy is queen of sciences (filsafat adalah ratu ilmu pengetahuan).
Hal ini karena filsafat sebagai proses yang mengkonstruksi rumusan ilmu pengetahuan, sedangkan ilmu pengetahuan adalah produk dari kerja filsafat. Oleh karena itu, di antara agama dan sains terdapat titik temu. Apabila pemahaman ulama terhadap agama benar dan temuan sains juga benar, maka pasti akan terjadi pertemuan dan tidak mungkin ada pertentangan antara agama dan sains. Sebab agama maupun sains keduanya berasal dari Allah (Qomar, 2020).
Allah memiliki dua hukum: pertama, dinullah, yakni hukum Allah yang tertulis dalam Al-Qur’an atau disebut ayat-ayat qauliyah (tanda-tanda kebesaran Allah yang berupa firman-Nya); dan kedua, sunnatullah, yakni hukum Allah yang diberlakukan pada alam semesta atau disebut ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda kebesaran Allah yang diekspresikan dalam bentuk gejala alam) seperti air mencari dataran rendah, api membakar, dan benda dilepas dari atas jatuh ke bawah. Dengan demikian, kenyataan akan bertentangan apabila terjadi salah satu antara tiga kemungkinan: pertama, pemahaman ulama terhadap agama sudah benar tetapi temuan ilmu pengetahuan yang salah; kedua, temuan ilmu pengetahuan sudah benar tetapi pemahaman ulama terhadap agama yang masih salah; dan ketiga, pemahaman ulama terhadap agama maupun temuan ilmu pengetahuan masih sama-sama salah (Qomar, 2020).
Keduanya, konsep keselarasan agama dan filsafat maupun antara agama dengan sains, akan memperkaya informasi pada seseorang yang melalukannya karena ia menguasai informasi ganda. Idealnya, berbagai disiplin ilmu menyatu dalam individu ilmuwan yang bersangkutan. Di kalangan filsuf Islam, penyatuan berbagai ilmu pada diri mereka banyak terjadi pada Al-Kindi. Dilaporkan bahwa Al-Kindi telah menulis berbagai disiplin ilmu seperti aritmatika, geometri, astronomi, teori musik, ilmu kedokteran, farmasi dan politik. Ia telah menulis 265 buku. Dilaporkan juga bahwa karya Ar-Razi mencapai 200 judul dalam berbagai bidang keilmuan; Ibnu Sina menghasilkan 267 karangan; Al-Ghazali diperkirakan menghasilkan 300 buah karya ilmiah (Qomar, 2020).
Dengan demikian, terdapat dua ciri paling menonjol yang terdapat pada para filsuf maupun ilmuwan muslim sebagai akibat kurikulum pendidikan yang direalisasikan pada waktu itu, yakni: pertama, pengetahuan mereka general; kedua, hampir seluruh filsuf maupun ilmuwan muslim adalah ulama. Inilah kondisi yang gagal total diwujudkan oleh pendidikan Barat. Perbedaan besar pengalaman Islam dengan Barat ini berakar dari proses pembentukan konsep keilmuan khususnya tentang status ontologis objek-objek ilmu pengetahuan. Kapasitas ulama dan filsuf yang terdapat pada integrasi kepribadian filsuf muslim klasik maupun ulama dengan ilmu yang terdapat pada ilmuwan muslim klasik menunjukkan bahwa keilmuan mereka menyatu dan terpadu.
Dari sinilah dapat dipahami arti pentingnya PAI berproses mengintegrasikan agama dan sains melalui pendekatan multidisipliner (Qomar, 2020) Islam mengandung berbagai komponen baik akidah, hukum, politik, ekonomi, pendidikan dan lain-lain. Oleh karena itu, PAI harus berusaha berintegrasi dan bersinkronisasi dengan pendidikan non agama. PAI tidak boleh dan tidak mampu berjalan sendiri, melainkan harus berjalan bersama dan bekerja sama dengan program-program pendidikan non agama, sehingga relevan dengan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.
Namun fakta menunjukkan bahwa yang terjadi selama ini adalah bahwa PAI lebih banyak menyendiri, kurang berinteraksi dengan kegiatan pendidikan lainnya. Cara kerja seperti kurang efektif untuk keperluan penanaman perangkat nilai yang kompleks. Seharusnya mata pelajaran PAI berikut para guru/pendidik PAI saling bekerja sama dengan mata pelajaran-mata pelajaran, guru-guru non agama (Qomar, 2020).
Paradigma PAI Multidisipliner
Istilah paradigma berasal dari bahasa Yunani “para-diegma” yang berarti memperlihatkan model, contoh, arketipe. Istilah paradigma pada awalnya berkembang dalam dunia ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan filsafat ilmu pengetahuan (philosophy of science). Tokoh yang mengembangkan istilah tersebut dalam dunia ilmu pengetahuan adalah Thomas S. Kuhn melalui bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution. Menurut Kuhn, paradigma adalah asumsi-asumsi dasar dan asumsi-asumsi teoretis yang umum yang merupakan suatu sumber hukum, metode serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri (Asra, 2021).
Paradigma juga diartikan sebagai cara memandang sesuatu dalam ilmu pengetahuan; model, pola, ideal yang dari model-model ini fenomena dipandang dan dijelaskan; dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset. Paradigma merupakan konstruk berpikir yang mampu menjadi wacana untuk temuan ilmiah, yang dalam konseptualisasi Kuhn menjadi wacana untuk temuan ilmiah baru (Asra, 2021). Mujamil Qomar mengartikan paradigma sebagai model berpikir atas sesuatu, atau kerangka berpikir terhadap sesuatu (Qomar, 2020).
Paradigma juga didefinisikan sebagai pandangan dasar tentang apa yang menjadi pokok bahasan yang seharusnya dikaji oleh disiplin ilmu pengetahuan, mencakup apa yang seharusnya ditanyakan dan bagaimana rumusan jawabannya disertai dengan interpretasi jawaban.
Paradigma dalam hal ini adalah konsensus bersama oleh para ilmuan tertentu yang menjadikannya memiliki corak yang berbeda antara satu komunitas ilmuan dan komunitas ilmuwan lainnya. Varian paradigma yang berbeda-beda dalam dunia ilmiah dapat terjadi karena latar belakang filosofis, teori dan instrumen serta metodologi ilmiah yang digunakan sebagai pisau analisisnya (Ulya dan Abid, 2015; Upe, 2010).
Merujuk pada pengertian paradigma di atas dan pengertian PAI multidisipliner yang telah diuraikan di pada bagian sebelumnya, maka dapat dipahami bahwa paradigma PAI multidisipliner adalah pandangan dasar, model, kerangka dan konstruk berpikir dalam merumuskan PAI yang dilakukan melalui kerja sama PAI dengan berbagai disiplin keilmuan yang relevan dalam memberikan pemecahan masalah tertentu dalam PAI.
Thomas Kuhn membagi paradigma dalam beberapa tipe paradigma, yaitu paradigma metafisik, paradigma sosiologis dan paradigma konstruk. Berdasarkan hal tersebut, maka secara umum paradigma dalam perspektif Kuhn dapat diperkuat analisisnya ke dalam pengelompokan varian paradigma menjadi dua paradigma utama, yaitu paradigma ilmiah dan paradigma alamiah (Ulya dan Abid, 2015).
Paradigma ilmiah meliputi paradigma fakta sosial dan paradigma perilaku sosial. Paradigma fakta sosial menemukan bahwa ada sesuatu di luar diri manusia yang dapat memaksa dirinya untuk melakukan sesuatu agar dapat berperilaku sesuai dengan apa yang ada di luar dirinya, sehingga perilaku seseorang dapat dikontrol. Fakta sosial meliputi norma-norma, nilai-nilai, adat istiadat dan aturan-aturan yang bersifat memaksa dan mengikat. Paradigma fakta sosial ini dipelopori oleh Emile Durkheim. Fokus kajian dalam penelitian sosiologi meliputi struktur sosial dan pranata sosial (Ulya dan Abid, 2015).
Sedangkan paradigma perilaku sosial menyatakan terdapat sesuatu yang dapat menjadi pemicu perilaku seseorang. Dalam hal ini, perilaku seseorang ditentukan oleh stimulus yang datang dari luar. Stimulus tersebut dapat membuat individu berpikir dan berperilaku. Paradigma perilaku sosial meliputi tiga asumsi dasar bahwa: a. Perilaku manusia pada dasarnya dapat dikontrol; b. Kepribadian manusia tidak dapat dijelaskan melalui mekanisme psikis id dan ego; c. Perilaku manusia tidak ditentukan hanya makro oleh pilihan individual. Paradigma perilaku sosial ini dalam ilmu psikologi dikenal dengan pendekatan behaviorisme dengan tokoh utamanya Burrhus Frederic Skinner (Ulya dan Abid, 2015).
Paradigma alamiah mengacu pada paradigma definisi sosial yang diprakarsai oleh Max Weber yang memusatkan perhatiannya pada tindakan sosial dan interaksi sosial sosial. Tindakan sosial diartikan sebagai tindakan individu yang mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada orang lain. Weber mendefinisikan tindakan sosial sebagai tindakan individu yang mempunyai pemaknaan berdasarkan subjektivitas dirinya dan diarahkan pada orang lain. Sehingga, Weber mengarahkan sosiologi sebagai ilmu yang berusaha memaknai dan memahami tindakan sosial dan berbagai interaksi sosial untuk memperoleh penjelasan kausal. Sehingga sosiologi kontemporer juga disebut sosiologi interpretatif. Paradigma definisi sosial ini tidak berpijak pada fakta sosial yang dianggap objektif, yaitu struktur dan pranata sosial, tetapi pada proses berpikir manusia. Sehingga dalam memaknai realitas dan interaksi sosial, manusia diposisikan sebagai pelaku yang natural dalam mengekspresikan tindakannya. Sehingga, tindakan dan interaksi sosial terjadi karena kemauan individu dan masyarakat itu sendiri. Maka, tindakan sosial tersebut tidak terpusat pada struktur-struktur sosial, tetapi pada definisi bersama berdasarkan perspektif masing-masing individu dan kelompok sosialnya (Ulya dan Abid, 2015).
Paradigma ilmiah adalah adalah prestasi ilmiah yang diakui secara universal, untuk sementara waktu, memberikan model masalah dan solusi bagi kelompok praktisi. Kuhn menjelaskan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan tidak berlangsung secara garis lurus, tetapi menurut sebuah revolusi yang bersifat berkala, yakni perubahan paradigma (paradigm shift) di mana penelitian ilmiah pada suatu bidang tiba-tiba berubah secara drastis (Fitri et al., 2020).
Kuhn menyadari bahwa tidak ada standar objektif yang sama yang dipakai ilmuwan yang berbeda dengan hasil ilmiah yang sama. Kuhn mengemukakan pandanganya mengenai incommersurability, yaitu suatu pemahaman mengenai ilmu pengetahuan yang tidak pernah didasarkan pada suatu yang benar-benar objektif, sebab itu, aspek subjektif dalam ilmu pengetahuan harus dikaji secara seimbang dengan aspek objektif ilmu pengetahuan.
Ia menyadari bahwa kodrat manusia yang terbatas dan rasional tersebut sebagai landasan pembangunan teori ilmu pengetahuan yang bersifat paradigmatik, yakni yakni pemahaman terhadap ilmu pengetahuan sebagai kerangka referensi yang mendasari praktik-praktik ilmiah dalam periode tertentu. Kuhn, memperhatikan bahwa ilmu pengetahuan terkait dengan kerangka konseptual yang digunakan para ilmuwan dalam periode tertentu dan tidak begitu saja diklaim berlaku pada periode yang lain. Berdasarkan pendapat Kuhn, dapat dikatakan bahwa revolusi ilmu pengetahuan sebagai perubahan paradigma.
Dengan kata lain, revolusi ilmu pengetahuan harus dipahami sebagai perubahan paradigma yang berlangsung dalam sebuah era yang di satu pihak melepaskan cara pandang yang tidak relevan dengan kebutuhan actual, dan di pihak lain melanjutkannya dengan perkembangan lebih jauh di masa depan terhadap potensi-potensi pengetahuan yang sudah dihasilkan oleh manusia (Fitri et al., 2020).
Pandangan dan pemikiran Kuhn tersebut menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dapat melakukan revolusi ilmiah, ketika dalam paradigma keilmuwan lama dianggap telah terjadi anomali dan krisis, maka dibutuhkan paradigma baru yang akan mampu mengatasi permasalahan (Fitri et al., 2020).
Model yang dikembangkan Kuhn pada paradigma I berlangsung normal science, yakni ketika sebuah paradigma menjadi sedemikian dominan/dianggap ilmuan berusaha mengembangkan paradigma yang sedang menjadi mainstream atau yang paling banyak berpengaruh. Selanjutnya paradigma lama mengalami kelumpuhan analitik atau tidak mampu memberi jawaban dan penjelasan terhadap banyaknya persoalan yang timbul. Pada fase ini, para ilmuwan tidak mampu lagi mengelak dari pertentangan karena terjadi banyak penyimpangan.
Tahap inilah yang disebut sebagai fase anomalies, yakni terjadinya ketidakselarasan antara kenyataan yang ada dengan paradigma-paradigma yang digunakan ilmuwan. Karena banyaknya anomali-anomali maka dampaknya adalah timbulnya crises. Ketika penyimpangan memuncak, maka suatu krisis akan muncul dan paradigma itu sendiri mulai disangsikan kebenaran dan validitasnya. Pada fase krisis inilah paradigma mulai diragukan kebenarannya. Krisis tersebut terjadi dengan begitu hebatnya yang kemudian mengantarkan pada terjadinya fase revolution. Fase revolusi adalah tahap di mana terjadi lompatan-lompatan dan perubahan-perubahan secara drastis. Pada fase revolusi inilah kemudian muncul paradigma II yang memberikan jawaban atas persoalan yang muncul dari paradigma I (sebelumnya) (Fitri, et al., 2020).
Kajian terhadap pemikiran Kuhn tersebut dapat ditransformasikan ke dalam paradigma PAI yang dapat dianalisis pada hal-hal berikut. Pertama, pemikiran Kuhn tentang paradigma dapat dipahami sebagai pondasi awal untuk menentukan landasan filosofis ilmu dan landasan teoretis PAI. Wacana yang berkembang dalam paradigma terjadi secara dialektik dan interaktif dalam pembentukan dan penolakan terhadap suatu paradigma ilmiah, sehingga dalam konteks pemikiran PAI dapat dimaknai sebagai progresivitas berpikir dalam memahami paradigma ajaran Islam berdasarkan landasan normatifnya, dinamika pemikirannya, kontinuitasnya dan sensitivitasnya dalam menjawab persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat yang membutuhkan paradigma yang kuat. Arah dan tujuannya adalah menjadikan Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin (Ulya dan Abid, 2015).
Kedua, pemikiran Kuhn tentang normal science menggambarkan sebuah kondisi ketika sebuah paradigma menjadi sedemikian dominan dan digunakan sebagai indikator utama. Normal science dalam konteks pemikiran PAI didasarkan pada teori yang terdapat dalam sumber ajaran Islam yang dalam perkembangannya tetap dapat dijadikan sebagai norma atau kaidah, tidak ada penyimpangan, dan tidak sulit menjalankannya dalam kehidupan praktis. Normal science dalam kajian studi pemikiran PAI dapat dianalogikan dengan memahami teori-teori ajaran Islam dengan menggunakan pendekatan teologis normatif (Ulya dan Abid, 2015).
Ketiga, pemikiran Kuhn tentang anomali adalah terjadinya ketidakselarasan antara kenyataan dengan paradigma-paradigma yang digunakan ilmuwan. Anomali terjadi karena paradigma pertama tidak mampu memberikan penjelasan dan menjawab persoalan yang timbul dan akhirnya terjadi penyimpangan. Anomali dalam konteks pemikiran PAI terjadi seiring dengan berkembangnya kehidupan dan perubahan zaman. Dalam hal ini terjadi suatu kondisi bahwa ajaran Islam yang berada dalam ranah teologis normatif tidak seluruhnya dapat menjawab seluruh persoalan umat Islam. Sehingga pada fase ini, kajian tentang pemikiran PAI mengalami sesuatu yang dalam istilahnya Kuhn disebut sebagai crisis (Ulya dan Abid, 2015).
Keempat, revolusi ilmiah (scientific revolution) dalam pemikiran Kuhn adalah terjadinya lompatan-lompatan dan perubahan-perubahan secara drastis dan pada akhirnya akan memunculkan paradigma baru berdasarkan studi ilmiah lanjutan dan dikaji berdasarkan sudut pandang dan teknik metodologi yang lebih unggul dibanding paradigma lama dalam upaya memecahkan masalah. Revolusi ilmiah dalam konteks pemikiran PAI adalah upaya untuk melakukan perubahan secara drastis mengenai pemahaman dan interpretasi ajaran Islam untuk dapat menjawab persoalan yang ada dalam masyarakat sebagai akibat dari perkembangan zaman (Ulya dan Abid, 2015).
Revolusi ilmiah dan transformasi ajaran Islam dalam dialektika pemikiran PAI menjadi kenyataan objektif yang terus terjadi sepanjang sejarah. Sehingga dalam hal ini, dalam memahami paradigma PAI dibutuhkan berbagai kerangka kerja metodologis yang dapat digunakan sebagai pisau analisis. Kerangka kerja metodologis tersebut dapat ditempuh melalui berbagai pendekatan, selain pendekatan teologis normatif juga terdapat banyak pilihan pendekatan lain, misalnya pendekatan historis, sosiologis, antropologis, dan pendekatan multidisipliner (Ulya dan Abid, 2015).
Untuk menjawab kerisauan ilmiah terkait anomali dan krisis dalam PAI yang ditunjukkan oleh ketidakmampuan PAI monodisipliner dalam menjawab tantangan zaman maka diperlukan revolusi ilmiah terhadap pemikiran PAI. Revolusi ilmiah tersebut di antaranya adalah dilakukan dengan cara mentransformasikan PAI monodisipliner menjadi PAI multidisipliner.
Dalam konteks ini Mujamil Qomar menawarkan dua paradigma untuk PAI multidisipliner. Pertama, paradigma transformatif (transformative paradigm).
Paradigma transformatif menuntut PAI untuk senantiasa beradaptasi dan mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan dan inovasi teknologi, sehingga tetap relevan dan kontekstual dengan kebutuhan zaman. Paradigma ini juga memiliki relevansi yang kuat dengan dinamika global yang telah menempatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pilar utama dalam berbagai bidang kehidupan. Kedua, paradigma mekanisme (mechanism paradigm).
Paradigma mekanisme mempersepsi kehidupan terdiri atas berbagai aspek. Sedangkan pendidikan dipersepsikan sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya laksana sebuah mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen yang menjalankan fungsinya masing-masing, sementara satu dengan yang lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak berkonsultasi. Semua elemen tetap pada fungsinya dan berkosentrasi pada tugasnya masing-masing. Jika melakukan konsultasi, maka sifatnya hanya menampung saran-saran semata, tidak memadukan elemen-elemen itu ke dalam satu elemen besar (Qomar, 2020).
Teori Materi PAI Multidisipliner
Islam mengandung multidisiplin ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu alam (natural sciences) seperti fisika, kimia, matematika, biologi, astronomi, dan botani; ilmu-ilmu sosial (social sciences) seperti sosiologi, ekonomi, hukum, pendidikan, dan politik; serta humaniora seperti psikologi, filsafat, antropologi, dan sejarah. Hal ini mudah dipahami jika Al-Qur’an ditelaah dengan baik. Sebagai kitab terakhir yang diturunkan oleh Allah, Al-Qur’an didesain sebagai kitab paling lengkap, sehingga kandungannya bersifat multidimensional sebagaimana rinciannya terdapat pada contoh-contoh disiplin ilmu tersebut (Qomar, 2020).
Dalam implementasi materi PAI multidisipliner, masing-masing disiplin ilmu bekerja sendiri-sendiri secara otonom dan memiliki kewenangannya masing-masing. Lantaran masing-masing disiplin tersebut bekerja sendiri-sendiri di luar keterpaduan. Pendekatan multidisipliner dioperasionalkan dalam memfasilitasi masing-masing disiplin berdiri terpisah satu sama lainnya mengakibatkan pengetahuan multidisipliner yang dihasilkan tetap menunjukkan karakter monodisipliner. Cita-cita awal untuk menghasilkan pengetahuan yang terintegrasi belum bisa diwujudkan oleh pendekatan multidisipliner (Qomar, 2020).
Berdasarkan karakteristik PAI yang multidimensional, maka materi PAI sebaiknya diarahkan dalam: pertama, membudayakan internalisasi nilai-nilai religius khususnya bagi peserta didik; kedua, mengemban orientasi teo-antroposentris; ketiga, menggunakan integrasi segi tiga antara iman, ilmu, dan amal; keempat, mengembangkan objek-objek keilmuannya bukan saja pada tataran rasional, tetap juga pada tataran supra-rasional; kelima, mengembangkan pemahaman materi PAI melalui multiperspektif; keenam, mengembangkan model berpikir logis-argumentatif; ketujuh, mengembangkan sikap objektif dan kritis; dan kedelapan, mengembangkan materi PAI secara terbuka (inklusif). Maka, materi PAI multidisipliner harus memiliki potensi membentuk integritas kepribadian muslim peserta didik sesuai dengan pesan-pesan substantif ajaran-ajaran Islam (Qomar, 2018).
Materi PAI Multidisipliner
Materi PAI adalah materi pelajaran atau materi pokok bidang studi agama Islam yang disusun secara terencana guna menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, mengamalkan ajaran Islam dan berakhlak secara Islam serta diikuti tuntunan untuk menghormati agama lain dalam hubungan dengan kerukunan antara umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa (Ahmad dan Nurjannah, 2016).
Berdasarkan pengertian materi PAI dan uraian tentang hakekat PAI multidisipliner yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan materi PAI multidisipliner adalah materi pelajaran atau materi pokok bidang studi agama Islam dengan menggunakan tinjauan berbagai sudut pandang banyak ilmu yang relevan, yang saling bekerja sama, namun tetap berdiri sendiri, yang disusun secara terencana guna menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, mengamalkan ajaran Islam dan berakhlak secara Islam serta diikuti tuntunan untuk menghormati agama lain dalam hubungan dengan kerukunan antara umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.
Komposisi materi PAI di antaranya dapat diwujudkan dalam bentuk materi PAI multidisipliner yang menekankan pada perspektif. Maksudnya adalah materi PAI ditinjau dari berbagai perspektif keilmuan, misalnya fikih perspektif teologis, sosiologis, psikologis, pendidikan dan kedokteran. Suatu ketentuan, baik doktrin, pernyataan, ungkapan, perbuatan maupun teks, bisa menghasilkan pemahaman yang sangat beragam jika pendekatannya berbeda. Misalnya, dalam fikih terdapat pembahasan tentang ibadah salat. Ditinjau secara teologis, salat merupakan konsekuensi (tindak lanjut) dari keimanan; ditinjau secara sosiologis, salat mencerminkan kesederajatan atau egalitarianisme; ditinjau secara psikologis, salat melahirkan ketenangan batin karena telah menunaikan perintah Allah; ditinjau dari dari segi pendidikan, salat melatih dan mendidik orang Islam agar berdisiplin; ditinjau dari ilmu kedokteran, semua gerakan salat mengandung unsur kesehatan.
Pengetahuan yang disampaikan dari masing-masing tinjauan tersebut tidak diintegrasikan, melainkan terpencar dan terpisah atau berdiri sendiri, namun memperkaya informasi mengenai hikmah dari ibadah salat. Pengetahuan yang terkandung dalam ibadah salat sebagai hasil dari tinjauan itu sangat bermanfaat bagi kepentingan PAI kendati tidak sampai pada tahap integrasi (Qomar, 2020).
Aplikasi Materi PAI Multidisipliner
Penerapan pendekatan pembelajaran apapun tidak ada yang tuntas membebaskam dari problem-problem yang dihadapi oleh pendidikan, apalagi yang dibelajarkan adalah materi PAI yang multidimensional, multiunsur, multitinjauan dan multimisteri. PAI multidisipliner adalah salah satu solusi untuk mengatasi problem-problem tersebut. Materi PAI dengan pendekatan multidisipliner menampung banyak perspektif dan pemecahan masalah yang disumbangkan oleh masing-masing disiplin ilmu pengetahuan (Qomar, 2020).
Aplikasi materi PAI multidisipliner merupakan penerapan PAI yang dilakukan dengan melibatkan disiplin-disiplin ilmu lainnya untuk berpartisipasi membantu memecahkan masalah dalam PAI dengan menggunakan pendekatan dan metodenya masing-masing secara otonom dan tidak ada intervensi satu disiplin ilmu terhadap disiplin ilmu lainnya. Dengan pengertian lain, pendekatan multidisipliner memposisikan semua disiplin berdiri sendiri dan bekerja menggunakan metode secara bebas dalam menyumbangkan pemecahan masalah dalam PAI (Qomar, 2020).
Semua komponen materi PAI ini membutuhkan sumbangan pemikiran maupun pemecahan masalah baik berkaitan dengan komponen akidah, fikih, akhlak, studi Al-Qur’an, studi hadis, sejarah peradaban Islam, dan sebagainya. Hal ini karena masing-masing komponen materi PAI tersebut memiliki keterkaitan dengan disiplin-disiplin lainnya, apalagi yang menyangkut ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis Nabi yang bersinggungan dengan fenomena alam yang tidak pernah dijelaskan oleh Nabi, maka disiplin-disiplin ilmu alam dibutuhkan kontribusinya. Fikih misalnya membutuhkan sumbangan berbagai disiplin ilmu pengetahuan lainnya yang terkait. Guru fikih dituntut mengakomodasi berbagai pandangan maupun temuan ilmu-ilmu lainnya. Misalnya, guru harus menguasai wawasan sosiologi, psikologi, biologi, dan kedokteran meskipun hanya sedikit (Qomar, 2020).
Penutup
PAI multidisipliner adalah usaha yang secara sadar dilakukan oleh pendidik dalam rangka menyiapkan peserta didik agar mereka memahami, meyakini dan mengamalkan ajaran agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan pelatihan, dengan menggunakan tinjauan berbagai sudut pandang banyak ilmu yang relevan, yang saling bekerja sama, namun tetap berdiri sendiri, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yaitu menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Allah dan berakhlak mulia.
Model PAI Multidisipliner adalah adalah pola, acuan, kerangka konseptual PAI yang menggunakan berbagai sudut pandang banyak ilmu yang relevan, yang saling bekerja sama, namun tetap berdiri sendiri, yang dijadikan pedoman dalam kegiatan PAI guna terwujudnya manusia yang beriman, bertakwa kepada Allah dan berakhlak mulia.
Paradigma PAI multidisipliner adalah pandangan dasar, model, kerangka dan konstruk berpikir dalam merumuskan PAI yang dilakukan melalui kerja sama PAI dengan berbagai disiplin keilmuan yang relevan dalam memberikan pemecahan masalah tertentu dalam PAI. Ada dua paradigma untuk PAI multidisipliner, yaitu paradigma transformatif (transformative paradigm) dan paradigma mekanisme (mechanism paradigm).
Materi PAI multidisipliner adalah materi pelajaran atau materi pokok bidang studi agama Islam dengan menggunakan tinjauan berbagai sudut pandang banyak ilmu yang relevan, yang saling bekerja sama, namun tetap berdiri sendiri, yang disusun secara terencana guna menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, mengamalkan ajaran Islam dan berakhlak secara Islam serta diikuti tuntunan untuk menghormati agama lain dalam hubungan dengan kerukunan antara umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa. Materi PAI multidisipliner harus memiliki potensi membentuk integritas kepribadian muslim peserta didik sesuai dengan pesan-pesan substantif ajaran-ajaran Islam.
Dalam aplikasinya, secara teoretis, semua komponen materi PAI membutuhkan sumbangan pemikiran maupun pemecahan masalah baik berkaitan dengan komponen akidah, fikih, akhlak, studi Al-Qur’an, studi hadis, sejarah peradaban Islam, dan sebagainya. Hal ini karena masing-masing komponen materi PAI tersebut memiliki keterkaitan dengan disiplin-disiplin lainnya. Maka dalam penerapannya, materi PAI harus dikaitkan dengan disiplin-disiplin lainnya.***
Komentar