KETIKA Zohran Kwame Mamdani, seorang Muslim muda keturunan India–Uganda, terpilih sebagai Wali Kota New York City, dunia menyaksikan babak baru dalam sejarah politik global. Bukan hanya karena ia menjadi Muslim pertama yang memimpin kota terbesar di Amerika Serikat, tetapi karena kemenangannya mencerminkan pergeseran kesadaran politik masyarakat urban: dari politik identitas menuju politik nilai dan kemanusiaan.

Di tengah meningkatnya Islamofobia dan ketegangan Israel–Palestina, kemenangan Mamdani terasa paradoksal. Bagaimana mungkin seorang Muslim yang vokal mendukung Palestina justru menang di kota dengan populasi Yahudi terbesar di dunia di luar Israel? Jawabannya bukan terletak pada keajaiban politik, melainkan pada transformasi sosial yang tengah berlangsung di jantung demokrasi Amerika.
1. Politik Nilai di Tengah Polarisasi
Mamdani memenangkan hati warga bukan karena agamanya, melainkan karena kejujuran moral dan keberpihakannya kepada rakyat kecil.
Sebagai aktivis perumahan di Queens, ia berbicara tentang krisis hunian, kemiskinan, dan kesenjangan ekonomi — bukan dengan retorika ideologis, tetapi dengan empati dan pengalaman nyata.
Ketika banyak politisi sibuk membangun citra, Mamdani turun langsung ke jalan, berbicara dengan penyewa rumah, buruh migran, dan warga imigran yang terpinggirkan. Ia mengingatkan publik bahwa keadilan sosial bukan milik satu agama, melainkan amanah kemanusiaan.
2. Palestina sebagai Cermin Nurani
Dukungan Mamdani terhadap rakyat Palestina bukanlah sikap politik sektarian. Ia menolak penjajahan dan kekerasan sebagai bentuk pelanggaran terhadap martabat manusia.
Sikap moral inilah yang justru menyentuh hati banyak warga muda Yahudi progresif di New York, yang kini juga mengkritik keras kebijakan militer Israel.
Mamdani mengajarkan cara mendukung Palestina tanpa membenci Yahudi, dan menolak penindasan tanpa menolak kemanusiaan. Inilah politik moral baru yang melampaui sekat agama dan ideologi.
Dalam konteks global, narasi semacam ini sangat kuat: ia bukan berbicara sebagai Muslim yang menentang Yahudi, tetapi sebagai manusia yang membela kemanusiaan.
3. Gelombang Progresif dan Pergantian Generasi
Kemenangan Mamdani juga menandai kebangkitan generasi muda progresif Amerika.
Mereka menolak politik lama yang elitis dan pragmatis, serta menuntut transparansi, kesetaraan, dan keberlanjutan.
Sebagai bagian dari Democratic Socialists of America (DSA), Mamdani bersekutu dengan tokoh-tokoh seperti Alexandria Ocasio-Cortez (AOC) dan Bernie Sanders, yang memperjuangkan green economy, universal healthcare, dan reformasi sistemik.
Generasi muda New York — multikultural, melek media, dan kritis — menjadi basis utama kemenangannya. Mereka tidak memilih berdasarkan ras atau agama, melainkan berdasarkan visi sosial dan integritas personal.
4. Pelajaran untuk Indonesia
Kisah Zohran Mamdani memberikan cermin bagi Indonesia, negeri dengan pluralitas yang bahkan lebih kompleks.
Dalam beberapa tahun terakhir, politik kita kerap tersandera oleh polarisasi identitas: Islam–non-Islam, Jawa–non-Jawa, pribumi–non-pribumi. Padahal, Indonesia dibangun di atas semangat Bhinneka Tunggal Ika, di mana perbedaan seharusnya menjadi sumber kekuatan, bukan perpecahan.
Dari Mamdani, kita belajar tiga hal penting :
1. Keberanian moral lebih kuat dari simbol agama.
Menyuarakan kebenaran dengan ketulusan lebih efektif daripada memainkan identitas untuk kepentingan politik.
2. Solidaritas lintas identitas adalah kunci masa depan demokrasi.
Politik harus membangun jembatan, bukan tembok.
3. Generasi muda harus diberi ruang.
Mereka membawa energi moral baru, bebas dari kepentingan lama, dan berani menawarkan ide-ide segar tentang keadilan dan kemanusiaan.
5. Penutup: Dari New York ke Nusantara
Kemenangan Zohran Mamdani adalah simbol perubahan arah peradaban politik: dari perebutan kekuasaan menuju perjuangan nilai.
Ia mengingatkan kita bahwa dalam dunia yang penuh kebisingan dan manipulasi, kejujuran, keberanian, dan empati masih menjadi mata uang paling berharga.
Bagi Indonesia, kisah ini bukan sekadar berita internasional, tetapi inspirasi untuk menumbuhkan politik berbasis etika, bukan etnis; nilai, bukan label.
Jika seorang Muslim keturunan imigran bisa memimpin New York dengan visi keadilan dan kasih sayang, maka bangsa ini pun bisa melahirkan pemimpin yang serupa — dari Aceh hingga Natuna, dari pesantren hingga istana.***





Komentar