Saya mulai mengajar pada tahun 2008, di sebuah SMP negeri di ujung utara Indonesia. Enam belas tahun sudah, dan setiap kali 25 November tiba, perasaan saya selalu campur aduk: ada haru, ada bangga, tapi juga ada getir yang sulit dijelaskan. Negeri ini begitu pandai memuliakan guru lewat spanduk dan pidato, namun begitu pelit ketika harus memuliakan guru lewat kebijakan.
1. Ketika Tuduhan Datang Kepada Kami
Saya masih ingat satu kejadian yang tidak akan pernah hilang dari ingatan saya.
Sekolah kami pernah diadukan oleh orang tua ke Dinas Pendidikan karena dianggap melakukan kekerasan. Tuduhannya: kami mengundang polisi ke sekolah untuk memberikan “pelajaran” kepada siswa. Padahal polisi kami undang bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk memberikan penyuluhan disiplin dan keselamatan—program rutin pembinaan remaja di daerah.
Namun apa daya, dalam sekejap nama baik sekolah tercoreng. Guru-guru diperiksa. Kepala sekolah dipanggil. Kami diperlakukan seolah-olah satu-satunya pihak yang salah. Tidak ada ruang untuk menjelaskan, tidak ada kesempatan untuk didengar. Guru selalu menjadi tersangka pertama dalam segala hal.
Saat itu saya merasa: Beginikah nasib orang yang hanya ingin mendidik?
2. Beban Administrasi dan Kurikulum yang Berubah-ubah
Di luar itu, ada hal lain yang menggerus idealisme secara perlahan: beban administrasi yang semakin tidak masuk akal. Setiap tahun, tumpukan laporan yang harus diisi semakin tinggi, seakan-akan dunia pendidikan Indonesia percaya bahwa kualitas belajar bisa diukur dari banyaknya dokumen.
Di sisi lain, pergantian kurikulum datang terlalu cepat. Belum tuntas mempelajari satu sistem, sudah muncul sistem baru—dua atau tiga kali dalam satu dekade. Kami tidak pernah benar-benar settle. Energi yang seharusnya digunakan untuk mengajar habis tersedot untuk beradaptasi terus-menerus.
Kadang saya bertanya dalam hati: Mengapa guru selalu diminta menyesuaikan diri, sementara sistem tak pernah menyesuaikan dengan kenyataan guru di lapangan?
3. Namun Anak-anak Itulah yang Membuat Saya Bertahan
Tapi meski realitas kadang menyesakkan, ada hal yang selalu membuat saya kembali berdiri dengan tegak: murid-murid kami.
Saya pernah mengajar seorang anak yang dulu sangat nakal, sering membuat masalah, dan kami sering kesulitan menanganinya. Tapi beberapa tahun kemudian, saya bertemu dia lagi—sudah dewasa, berhasil, dan datang menghampiri sambil menyalami tangan saya dengan penuh hormat. Cara ia menundukkan kepala membuat saya sadar bahwa nasihat-nasihat yang dulu saya pikir sia-sia ternyata tumbuh menjadi akar kehidupan baginya.
Momen seperti itu tidak bisa dibeli oleh profesi lain. Itulah mengapa saya bertahan.
Guru hanya perlu satu hal untuk terus mengajar: melihat satu anak berhasil.
4. Ketimpangan TPP: Luka yang Jarang Diungkap
Namun ada satu hal yang jarang dibicarakan secara jujur—karena tampaknya tabu—yaitu ketimpangan TPP (Tunjangan Penambah Penghasilan) antara guru PNS dan PNS lain di grade yang sama.
Saya sendiri berada di grade 9, dan menerima TPP Rp2.250.000,- per bulan. Namun rekan PNS non-guru di grade yang sama menerima sekitar Rp7.500.000,- per bulan.
Perbedaannya lebih dari tiga kali lipat.
Yang lebih menyakitkan, setelah saya melakukan penelusuran dan bertanya kepada banyak guru di daerah lain, pola ini ternyata berlaku hampir di seluruh Indonesia. Sangat sedikit daerah yang memberikan TPP guru setara dengan PNS lainnya.
Padahal guru selalu diwajibkan “profesional”, “berintegritas”, “berkinerja tinggi”—tapi penghargaan finansialnya seolah-olah menunjukkan bahwa profesi ini dianggap tidak terlalu penting.
Bagaimana mungkin kami diminta mencetak masa depan bangsa, sementara masa depan kami sendiri dianggap nomor dua?
5. Saya Tidak Menuntut Penghormatan. Saya Hanya Ingin Keadilan.
Saya tidak menulis ini untuk mengeluh. Saya menulis ini karena saya ingin negeri ini melihat nasib guru apa adanya, bukan hanya dalam narasi romantik Hari Guru.
Kami tidak meminta disanjung sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
Kami hanya ingin diperlakukan sebagai manusia yang bekerja keras, profesional, dan layak dihargai sama seperti pegawai negeri lainnya. Kami tidak ingin dimanjakan. Kami hanya ingin disejajarkan.
Mari Berhenti Memuji Guru dengan Kata-Kata
Pada Hari Guru Nasional 2025 ini, saya ingin mengatakan satu kalimat :
“Bangsa ini terlalu pandai memuji guru, tetapi terlalu takut memberikan keadilan kepada guru.”
Selama kebijakan masih timpang, selama guru terus disisakan dalam skema kesejahteraan birokrasi, selama suara guru hanya penting pada Hari Guru, maka pendidikan Indonesia tidak akan pernah benar-benar bangkit.
Karena pendidikan tidak pernah lebih baik daripada cara kita memperlakukan guru.
Dan saya, seperti jutaan guru lainnya, tetap berdiri di depan kelas—bukan karena negara benar-benar menghargai kami, tetapi karena anak-anak itu layak mendapatkan masa depan yang lebih baik.
Mudah-mudahan kelak, kebijakan pun ikut berubah.***
Oleh : Amirudin Yasin





Komentar