Era Globalisasi menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga pendidikan saat ini. Kemajuan teknologi yang tidak berimbang menyebabkan dekadensi moral bagi siswa atau pemuda di masa pertumbuhannya. Lembaga pendidikan yang tidak memperhatikan perkembangan zaman, akan tergerus dan kehilangan jatidiri. Tidak hanya itu, popularitas dan kepercayaan masyarakat akan turun, sehingga bisa jadi pendidikan kelembagaan akan bergeser menuju pola homeschooling. Salah satu upaya yang menjadi pilihan dan bisa dilakukan untuk menghindari penurunan moral peserta didik adalah melalui sistem kepesantrenan.
Pesantren diartikan sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang didalamnya terdapat beberapa unsur penting yaitu pondok (tempat tinggal), kiai, santri, masjid dan kitab kuning. Hadirnya Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang sudah ratusan tahun, tidak menjadikan semua orang paham dengan kondisi kepesantrenan. Ada banyak keunggulan dan tradisi yang tidak diketahui dan dirasakan oleh masyarakat luas. Akibatnya, karena ketidaktahuan tersebut banyak orang menganggap pesantren tidak mengikuti perkembangan zaman alias statis. Abudin Nata dalam bukunya menuturkan bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para ahli ada beberapa tradisi pesantren yang harus kita ketahui antara lain; tradisi rihlah ilmiah, meneliti, menulis kitab, membaca kitab kuning, thariqat, berbahasa Arab, penghafal, berpolitik dan tradisi lain yang bersifat sosial keagamaan.
Tradisi-tradisi inilah yang sebagian besar tidak tersosialisasi dan ditinggalkan oleh warga pesantren. Jika kita ambil contoh perbandingan dalam hal menulis buku, maka akan dijumpai dalam catatan sejarah. Seorang Nawawi Al-Bantani telah menulis lebih dari 100 judul buku yang terbagi dalam beberapa bidang ilmu agama dan masih banyak ulama-ulama pesantren lainnya dengan segudang karya penulisan. Eksistensi Pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam di Indonesia akhir-akhir ini semakin meningkat. Hal ini tampak dari tingginya animo masyarakat dalam menyekolahkan anaknya di lembaga pondok pesantren.
Salah satu faktor penyebabnya adalah karena kekhawatiran orang tua terhadap proses pendidikan sang anak yang berbaur dengan lingkungan. Selain itu, banyak orang tua yang tidak mampu menghadapi perkembangan anak di era digitalisasi saat ini, seperti kecenderungan bermain game online, pergaulan bebas dan lainnya. Hal inilah yang kemudian memicu persepsi baru bagi masyarakat untuk menyelamatkan generasi atau keturunannya agar tetap pada jalur lurus.
Menurut penulis, secara rinci ada beberapa faktor yang menyebabkan kembalinya Pesantren sebagai model pendidikan yang dipilih oleh masyarakat, yaitu:
Faktor Internal
- Terbatasnya ilmu dan kemampuan orang tua dalam mendidik anak di era globalisasi saat ini.
Faktor kemampuan mendidik biasanya menjadi alasan mendasar yang sering dijumpai di lapangan. Akses pendidikan yang sulit pada masa lalu menjadikan banyak orang tidak menuntut ilmu dengan leluasa. Pengaruh kondisi alam, keamanan, dan transportasi tidak mustahil juga menjadi alasan klasik dalam menuntut ilmu. Kini orang tua mulai sadar, ketidakmampuan yang ada pada dirinya jangan sampai terulang pada anak-anaknya sebagai generasi penerus. Anak-anaknya diharapkan memperdalam pengetahuan keagamaan dan meningkatkan amal sholeh dalam kehidupan.
- Munculnya mindset baru bagi kalangan orang tua, agar anak hidup dalam ketaatan kepada Allah SWT.
Keberadaan pesantren diyakini mampu membentuk karakter religius sang anak melalui pembiasaan-pembiasaan akhlak mulia setiap hari. Sebagaimana di pesantren diajarkan mulai dari pelajaran umum, kehidupan, wawasan keislaman, bahasa hingga akhlak dan adab dalam keseharian. Misalnya seorang santri yg dituntut mahir berbahasa Arab dan Inggris, hafal Qur’an, hadits dan kitab-kitab, hingga berjalan menunduk di depan ustad ustadzah serta merapikan sandal/sepatu.
Selain melalui pembiasaan keberagamaan tersebut, keberadaan anak di pondok juga diharapkan oleh orang tua sebagai upaya terbentuknya karakter sosial kemasyarakatan yang baik. Dimana kalau kita lihat pendidikan di pondok, santri dibiasakan dengan aktivitas kehidupan berjamaah, baik dalam ibadah maupun aktivitas biasa. Bahkan secara otomatis akan terdidik sikap disiplin dan budaya antri, serta peduli terhadap orang lain.
- Tidak tersedianya waktu luang bersama keluarga, karena tuntutan pekerjaan dll.
Perkembangan dunia kerja mewarnai proses pendidikan sang anak dalam keluarga. Tuntutan kantor yang mengharuskan berangkat pagi, terkadang pulang sampai malam membuat orang tua dan anak tidak berinteraksi dalam pendidikan keluarga. Akibatnya, anak lebih terpengaruh pada lingkungan luar rumah. Selain itu kurangnya pengawasan dan pendampingan orang tua sangat memengaruhi karakter anak dalam pertumbuhannya. Mengantarkan anak ke lembaga pesantren, diharapkan oleh orang tua sebagai solusi atas keterbatasan mereka dalam membimbing dan mendidik anak.
Faktor Eksternal
- Munculnya berbagai macam paham atau aliran yang bisa diakses di media secara cepat.
Perkembangan teknologi yang semakin canggih, berdampak pada kemudahan akses informasi dalam kehidupan. Banyak konten-konten dakwah yang disebarkan secara luas baik di youtube, instagram, facebook dll. Permasalahan yang kemudian muncul adalah perbedaan pandangan yang disampaikan oleh mubaligh terhadap persoalan umat, hukum syari’ah dan akhlak, sehingga bagi generasi muda yang belum banyak membaca akan terpengaruh memutuskan tanpa bertanya pada ahli atau mempelajari lebih lanjut.
Permasalahan akan berlanjut pada tahap berikutnya, ketika orang tua tidak mampu menjelaskan dan memberi pemahaman terkait masalah yang dihadapi. Pada akhirnya, antara orang tua dan anak akan terjadi miss communication dan saling menyalahkan.
Menjamurnya pendirian pesantren akhir-akhir ini memberikan solusi bagi umat untuk memilih jalur yang diyakini menuju Islam yang benar. Orang tua saat ini, bisa memilih pesantren mana yang sesuai dengan pahamnya, apakah bercorak Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah ataupun lainnya tanpa harus bimbang ketika anak dipondokkan.
- Berkembangnya dunia pesantren dengan mengintegrasikan pendidikan berbasis digital atau teknologi serta kelengkapan sarana prasarana yang memadai.
Beberapa pandangan terdahulu cenderung mengklaim pesantren sebagai lembaga anti pembaruan. Namun kenyataannya, banyak lembaga pesantren yang memadukan perkembangan teknologi dalam proses pendidikan, sehingga muncul sekarang aplikasi-aplikasi yang dimotori oleh santri. Tidak sedikit pesantren yang punya laboratorium, studio, bahkan channel media untuk pengembangan dakwah Islam.
Tuduhan pesantren sebagai lembaga sederhana, alakadar, sengsara juga ditepis oleh lembaga ini dengan bukti-bukti sekarang, seperti kita lihat banyak pesantren yang mewah, bersih, berkelas bahkan yang familiar adalah pesantren termewah se-Asia Tenggara. Banyaknya pilihan pola pengembangan pesantren, menjadikan masyarakat luas percaya dan menaruh hati pada pendidikan pesantren. Apalagi dengan sarana prasarana yang ada, justru meningkatkan mutu pendidikan pesantren di Indonesia.
- Diakuinya lembaga pesantren sebagai pendidikan resmi oleh negara.
Tidak diragukan lagi banyak alumni atau lulusan pesantren yang berkiprah sebagai tokoh kharismatik di negara ini. Hal ini secara tidak langsung mengakibatkan penghargaan dan semakin diperhitungkannya lembaga pendidikan pesantren. Sistem pendidikan pesantren kemudian diintegrasikan ke dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003. Selain itu, keberadaan pesantren semakin kekinian dengan ditetapkannya Hari Santri Nasional yang diperingati setiap tanggal 22 oktober melalui Keputusan Presiden nomor 22 Tahun 2015.
Pengakuan dan akses kemudahan bagi santri di pesantren juga diperhatikan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan universitas terkenal di negeri ini. Perlakuan yang sama diberikan oleh institusi TNI POLRI dalam rekrutmen prajurit terhadap alumni sekolah biasa dan juga santri. Hal senada juga dipraktikkan oleh lembaga pendidikan tinggi yang membuka peluang santri untuk melanjutkan pendidikan. Lebih menariknya lagi, saat ini tersedianya beasiswa santri berprestasi dan kader ulama dari program sarjana hingga program doktoral.
Maju dan berkembangnya lembaga pesantren di era sekarang menunjukkan bahwa kesadaran umat untuk kembali mengedepankan pendidikan Islam sangat tinggi. Hal ini kemudian menjadi semangat tersendiri bagi banyak orang untuk berlomba-lomba mendirikan lembaga pondok pesantren di setiap penjuru negeri. Berbagai class ditawarkan, mulai dari dengan biaya gratis, menengah, dan mahal.
Masing-masing Pondok Pesantren mulai menyediakan pendidikan formal mulai Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi. Sekarang bisa dirasakan, lembaga Pondok Pesantren yang pernah berjaya dan paling menonjol 500’an tahun silam, tidak punah dan hilang melainkan tetap muncul sebagai lembaga terkini, terpercaya dalam pembentukan insan yang berakhlak mulia.***
Penulis :
Hasmiza
Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Pendidikan Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang
Komentar