Di tengah tantangan krisis pangan yang semakin mengemuka, terutama di daerah pedesaan Indonesia, wakaf tanah pertanian bisa menjadi solusi nyata yang belum banyak digali. Indonesia memiliki jutaan hektar tanah wakaf, namun sayangnya, banyak di antaranya yang terbengkalai atau tidak dimanfaatkan secara optimal. Padahal, jika dikelola dengan serius, tanah wakaf ini dapat dijadikan lahan pertanian produktif yang tidak hanya mencukupi kebutuhan pangan lokal, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Artikel ini akan mengangkat permasalahan konkrit tentang wakaf tanah pertanian yang tidak produktif, serta menawarkan solusi praktis untuk mengubahnya menjadi sumber kemakmuran.

Indonesia adalah negara agraris dengan kekayaan alam yang melimpah. Namun, ironisnya, banyak daerah pedesaan yang justru mengalami kesulitan pangan karena lahan pertanian yang tidak dikelola dengan baik. Di sisi lain, data dari Badan Wakaf Indonesia (BWI) menunjukkan bahwa terdapat ribuan hektar tanah wakaf yang tersebar di seluruh Indonesia, termasuk di daerah pedesaan. Sayangnya, sebagian besar tanah wakaf ini hanya dibiarkan begitu saja, ditumbuhi rumput liar, atau bahkan digunakan untuk kepentingan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf.
Contoh nyata dapat dilihat di Desa Sukamaju, Jawa Barat. Di sana, terdapat sekitar 10 hektar tanah wakaf yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk pertanian. Namun, karena tidak ada pengelolaan yang serius, tanah tersebut justru menjadi sarang nyamuk dan tempat pembuangan sampah. Padahal, jika dikelola dengan baik, tanah tersebut bisa menjadi lahan pertanian yang menghasilkan padi, sayuran, atau buah-buahan untuk memenuhi kebutuhan pangan warga sekitar.
Salah satu masalah utama adalah kurangnya kesadaran masyarakat tentang potensi wakaf tanah untuk pertanian. Banyak orang masih memandang wakaf hanya sebagai tanah untuk pembangunan masjid atau pemakaman, tanpa memikirkan bahwa tanah wakaf juga bisa dimanfaatkan untuk kegiatan produktif seperti pertanian. Selain itu, banyak tanah wakaf yang belum memiliki sertifikat resmi, sehingga status kepemilikannya tidak jelas. Hal ini membuat tanah wakaf rentan terhadap sengketa dan penyalahgunaan.
Masalah lain adalah kurangnya sumber daya manusia yang kompeten untuk mengelola tanah wakaf. Nadzir, atau pengelola wakaf, seringkali tidak memiliki pengetahuan tentang pertanian modern atau manajemen usaha. Akibatnya, tanah wakaf hanya dibiarkan terbengkalai tanpa menghasilkan manfaat apa pun. Di Desa Sukamaju, misalnya, nadzir setempat mengaku kesulitan mencari tenaga ahli yang bisa membantu mengelola tanah wakaf menjadi lahan pertanian produktif.
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan langkah-langkah konkrit yang melibatkan berbagai pihak. Pertama, pemerintah melalui Badan Wakaf Indonesia (BWI) perlu melakukan pendataan dan sertifikasi tanah wakaf secara menyeluruh. Dengan memiliki sertifikat resmi, tanah wakaf akan terlindungi dari sengketa dan penyalahgunaan. Selain itu, sertifikat juga memudahkan proses pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf.
Kedua, diperlukan pelatihan dan pendampingan bagi nadzir dan masyarakat setempat. Nadzir perlu dibekali dengan pengetahuan tentang pertanian modern, manajemen usaha, dan hukum wakaf. Misalnya, mereka bisa diajarkan cara mengelola lahan pertanian dengan sistem irigasi modern, penggunaan pupuk organik, atau teknik penanaman yang ramah lingkungan. Selain itu, masyarakat sekitar juga perlu dilibatkan dalam pengelolaan tanah wakaf, sehingga mereka merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan memanfaatkannya.
Ketiga, tanah wakaf pertanian dapat dikembangkan melalui kerjasama dengan pihak swasta atau lembaga sosial. Misalnya, perusahaan agribisnis bisa diajak bekerjasama untuk mengelola tanah wakaf menjadi lahan pertanian modern. Hasil panen bisa dijual ke pasar lokal atau bahkan diekspor, dengan sebagian keuntungannya digunakan untuk membiayai program-program sosial, seperti pembangunan sekolah atau fasilitas kesehatan di desa tersebut.
Sebuah contoh sukses dapat ditemukan di Desa Tani Sejahtera, Jawa Tengah. Di sana, sekitar 5 hektar tanah wakaf yang sebelumnya terbengkalai berhasil dikelola menjadi lahan pertanian produktif. Proyek ini dimulai dengan pendampingan dari sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus pada pemberdayaan petani. Nadzir setempat diberikan pelatihan tentang pertanian modern, sementara masyarakat sekitar dilibatkan dalam proses penanaman dan panen. Hasilnya, tanah wakaf tersebut kini menghasilkan padi, jagung, dan sayuran yang mencukupi kebutuhan pangan warga desa. Bahkan, sebagian hasil panen dijual ke pasar lokal, dengan keuntungannya digunakan untuk membiayai program beasiswa bagi anak-anak kurang mampu di desa tersebut.
Wakaf tanah pertanian memiliki potensi besar untuk menjadi solusi konkrit dalam mengatasi krisis pangan di pedesaan Indonesia. Dengan mengoptimalkan tanah wakaf yang selama ini terbengkalai, kita tidak hanya dapat mencukupi kebutuhan pangan lokal, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, untuk mewujudkan hal ini, diperlukan kerjasama antara pemerintah, lembaga wakaf, masyarakat, dan pihak swasta. Dengan langkah-langkah konkrit seperti sertifikasi tanah, pelatihan nadzir, dan kerjasama dengan pihak terkait, tanah wakaf pertanian dapat menjadi sumber kemakmuran yang berkelanjutan bagi masyarakat pedesaan Indonesia.***
Komentar