Natuna (RP) – Harga minyak dunia kembali terjun bebas di bulan Maret 2020. Tepatnya pada tanggal 24 Pebruari 2020 lalu, WTI masih di angka US$ 51,43 per barel dan Brent masih US$ 55,77 per barel sebagaimana dilansir oleh OILPRICE.com.
Berselang tiga minggu kemudian, 18 Maret 2020, WTI nyungsep ke level US$ 20,83 per barel dan Brent US$ 26,69 per barel.
Sementara pada Jum’at (17/4), WTI kembali anjlok lebih drastis ke angka US$ 19,91 per barel dan Brent US$ 28,08 per barel. Sedangkan Minas di posisi US$ 22,52 per barel.
Dalam jangka waktu tiga pekan, harga minyak terpuruk lebih dari 55 persen, yang mana harga minyak dunia pada periode pertengahan Maret 2020 sampai pertengahan April 2020 sama dengan kejadian 18 tahun silam, tepatnya pada Januari 2002 semasa harga minyak terpuruk berada di kisaran US$ 20 per barel.
Jika dilihat pada akhir tahun 2019 lalu, penurunan harga minyak dipicu oleh tiga faktor, yang mana pertama dikarenakan wabah Covid-19 yang berawal dari Wuhan (Cina), dan mulai menyebar ke beberapa belahan dunia sehingga menyebabkan Lower Demand terhadap permintaan minyak bumi.
Selanjutnya over supply akibat pertemuan OPEC pada 6 Maret 2020 dengan negara-negara mitranya (terutama Rusia) berakhir tanpa kesepakatan untuk mengurangi tingkat produksi di tengah ekspektasi pasar akan menurunnya permintaan minyak global, dan yang terakhir, Covid-19 yang hingga kini belum ditemukan vaksinnya kian menambah banyak korban jiwa serta semakin mengeskalasi menjadi pandemi yang mengakibatkan resesi ekonomi secara global.
Kini, harga minyak di tiga pekan terakhir hampir stabil meski masih dalam kondisi naik turun. Pada tanggal 13 Juli 2020, WTI di angka US$ 40,1 per barel dan Brent masih US$ 42,73 per barel. Sementara, Jum’at 7 Agustus 2020, WTI kembali terjun ke level US$ 41,22 per barel dan Brent US$ 44,4 per barel yang mana pada waktu dua hari sebelumnya, Rabu 5 Agustus 2020, WTI sempat merangkak ke level US$ 42,29 per barel dan Brent US$ 45,17 per barel.
Krisis harga minyak bukanlah kejadian baru. Menurut Bank Dunia, dalam kurun 35 tahun terakhir paling tidak ada enam episode kejadian di mana harga minyak terus turun lebih dari 30 persen dari baseline semula.
Sejak awal, sejarah panjang perminyakan modern selalu ada periode lonjakan dan penurunan harga. Namun kombinasi tiga penyebab krisis harga minyak di atas akan menempatkan harga minyak di posisi rendah dalam jangka waktu lama (lower for longer), paling tidak sampai ditemukannya vaksin virus menakutkan (Covid-19) atau sampai meredanya pandemi Corona.
Banyak pengamat memprediksi, bahwa di sisa tahun 2020 ini harga minyak hanya berada di kisaran US$ 10-30 per barel. Situasi tersebut sangat memukul industri hulu migas, ditambah lagi kondisi belum pulihnya dari krisis harga minyak berkepanjangan pada tahun 2014-2016. Hingga tahun 2019 menyebabkan belanja tahunan (spending) operator migas secara global belum mencapai level spending di tahun 2014 silam.
Anjloknya harga minyak sudah pasti akan menyebabkan perlambatan kegiatan eksplorasi dan produksi hulu, karena berubahnya perkembangan perekonomian dunia. Awal, perhitungan perekonomian memakai standar harga minyak US$ 50-60 per barel, namun sekarang terpaksa harus disesuaikan dan yang mana para operator migas akan melakukan spending cuts dan efisiensi.
Spending cuts adalah mengurangi pengeluaran, terutama capex yang sifatnya capital intensive, serta proyek-proyek jangka menengah hingga jangka panjang yang memang belum memberikan tambahan produksi dalam waktu dekat, termasuk penundaan non-sanctioned project.
Sementara Efisiensi adalah merestrukturisasi pengeluaran berdasarkan skala prioritas, re-scoping proyek-proyek (termasuk proyek pembangunan fasilitas dan pengeboran), yang mana sementara waktu lebih berfokus pada kegiatan yang sifatnya mempertahankan level produksi dalam jangka pendek.
Berdasarkan kajian IHS Markit pada Maret 2020 lalu, setelah harga minyak merosot tajam, para operator migas melakukan revisi anggaran berdasarkan harga minyak US$ 30 per barel yang sebelumnya berdasarkan harga US$ 50 per barel. Sementara Shell telah mengumumkan akan mengurangi biaya operasinya hingga US$ 4 miliar tahun ini serta memangkas pengeluaran modalnya dari US$ 25 miliar menjadi US$ 20 miliar.
Sedangkan perusahaan asal Prancis yaitu Total, juga telah mengungkapkan akan mengurangi belanja capex lebih dari US$ 3,3 miliar dan penghematan biaya operasional US$ 800 juta dibandingkan tahun 2019 lalu. Sementara ExxonMobil juga menyatakan akan mengurangi pengeluaran secara signifikan sebagai akibat dari kondisi pasar global. Dan Saudi Aramco juga akan menurunkan belanja capex dari US$ 32,8 miliar menjadi US$ 25-30 miliar.
Dilihat dari kondisi akhir-akhir ini, tantangan industri hulu migas tidak hanya sekedar menghadapi harga minyak rendah. Pandemi Covid-19 mengharuskan orang melakukan physical distancing serta dalam hal tertentu harus menjalani karantina dan sungguh menjadi kendala besar bagi kegiatan operasional, terutama pada kegiatan yang benar-benar mengharuskan kehadiran fisik dan kerja kelompok seperti ; misalnya kegiatan konstruksi, freight, inspeksi, crew change, dan seterusnya.
Akibat dari dampak di tengah kondisi yang sulit ini harus tetap diupayakan agar level produksi tetap bertahan. Begitu juga atas biaya-biaya dijaga seoptimalmungkin untuk menahan agar profit masih bisa bertahan di level tertentu, meskipun revenue pasti akan turun jika harga minyak rendah.
Diamati dari siklus sebelumnya, kegiatan workover/well services dapat menjadi andalan untuk mempertahankan produksi, begitu juga Intensifikasi kegiatan pemeliharaan untuk menambah keandalan fasilitas produksi juga dapat digalakkan agar frekuensi unplanned shutdown dapat ditekan lebih rendah.
Sementara, pengptimalisasian biaya dapat dilakukan dengan penghematan, efisiensi, atau pemotongan anggaran yang di kenal dengan spending cut. Yang mana, pemotongan anggaran biasanya dilakukan untuk kegiatan yang belum berdampak langsung terhadap produksi di tahun berjalan yang pada umumnya berupa capex. Sementara penghematan dan efisiensi dapat juga dilakukan terhadap biaya yang berdampak langsung terhadap produksi, umumnya opex.
Dalam kasus pengoptimalisasian biaya, fungsi Supply Chain Management (SCM) memegang mempunyai peran yang sangat penting yang mana SCM merupakan salah satu pintu terakhir di mana suatu business unit membuat komitmen untuk membelanjakan anggarannya. Contohnya di industri hulu migas ini, sekitar 70 persen pembelanjaan melalui pintu SCM yang mana berupa pengadaan barang/jasa, transportasi, kepabeanan, logistics base, gudang, penyimpanan, dan sebagainya.
Ada beberapa strategi jangka pendek dari sudut pandang Supply Chain Management yang dapat dilakukan untuk optimalisasikan biaya di tengah situasi Pandemi saat ini seperti diantaranya ; Sharing facilities antar operator yang berdekatan, pemanfaatan kontrak pengadaan bersama, pemanfaatan kembali material bekas pakai yang masih memenuhi kriteria teknis (refurbish), pinjam-pakai material (material transfer), re-scoping dan renegosiasi kontrak, serta tim engineering melakukan simplikasi desain dan simplifikasi spesifikasi material sepanjang masih memenuhi kriteria fit for purpose.
Perusahaan Energi Terus Beroperasi Di Tengah Pandemi
Memasuki ancaman Pandemi luar biasa, beberapa perusahaan energi ternama masih tetap optimis berhasil menghadapi tantangan yang disebabkan oleh Pandemi COVID-19. Perusahaan terus berkembang dengan fokus pada bisnis Minyak & Gas Bumi, Ketenagalistrikan, Pertambangan Tembaga dan Emas.
Melalui akuisisi Ophir Energy plc pada 2019, salah satu perusahaan energi seperti MedcoEnergi saat ini diakui sebagai Perusahaan sumber daya alam terkemuka di Asia Tenggara dengan tingkat produksi migas di atas 100.000 boe per hari.
Perusahaan terus berkomitmen untuk menjaga keselamatan di wilayah kerja, menjaga keberlangsungan bisnis dengan mematuhi protokol kesehatan dan keselamatan COVID-19 dari Pemerintah. Perusahaan tersebut telah mendukung masyarakat di wilayah operasi dalam memerangi COVID-19 dengan menyalurkan miliaran rupiah dari dana Perusahaan dan kontribusi Pekerja yang disalurkan melalui Medco Foundation. Perlengkapan medis serta kebutuhan pokok lainnya juga didistribusikan serta fasilitas laboratorium di Rumah Sakit Kanker Dharmais, yang mana fasilitas ini dibangun untuk mendukung pemerintah dan masyarakat guna mempercepat hasil tes COVID-19.
Direktur Utama MedcoEnergi Hilmi Panigoro mengatakan bahwa pihaknya tengah menghadapi masa yang penuh tantangan. Penurunan permintaan energi yang cepat dalam menghadapi peningkatan produksi minyak merupakan tantangan bagi industri. Namun, dengan tekad dan pengalaman, dan komitmen mereka terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan, MedcoEnergi terus mendukung Pemerintah untuk menjaga pasokan energi nasional sambil terus tumbuh seperti yang sudah dibuktikan selama 40 tahun berjalan.
Perlu kita pahami bahwa, bisnis minyak selalu menghadapi berbagai ketidakpastian. Siklus naik-turun harga memang sulit dikendalikan karena merupakan hukum pasar. Pola-pola yang sama secara global akan terulang kembali seperti periode-periode sebelumnya. Jika sudah tercapai keseimbangan pasar yang baru, secara perlahan kegiatan eksplorasi dan produksi akan rebound kembali, dan operator kembali dapat melakukan kegiatan yang tertunda, termasuk kegiatan eksplorasi dan proyek-proyek yang dapat memberikan tambahan produksi di masa mendatang.(rapi)
Ditulis oleh :
Muhammad Rapi
Komentar