Oleh : Asmara Juana Suhardi, S.T.,S.IP.,M.Si. Mahasiswa Pascasarjana Program Doktoral (S-3), Universitas Muhammadiyah Malang angkatan tahun 2021.
Dulu sistem pemerintahan di Kepulauan Riau dikenal dengan sistem pemerintahan kesultanan. Dalam pemerintahan kesultanan, masalah adat istiadat (kebiasaan) dipegang sepenuhnya oleh para pembesar/petinggi istana. Maka dalam struktur kesultanan terdapat petinggi istana yang bertugas menyelenggarakan, mengatur dan mengawasai hal-hal yang berhubungan dengan tata cara pelaksanaan adat istiadat.
Namun karena kesultanan di Kepulauan Riau sudah tidak lagi berkuasa, maka saat ini urusan adat istiadat di Provinsi Kepulauan Riau diurus oleh para pemangku atau orang-orang yang dianggap memahami adat kebiasaan masyarakat di Kepulauan Riau. Khususnya hal-hal yang berkenaan dengan adat kebiasaan masyarakat Melayu itu sendiri.
Keberadaan Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepulauan Riau merupakan wadah bernaungnya orang-orang yang mengurus adat kebiasaan masyarakat Melayu di Kepulauan Riau. Lembaga ini diperkuat dengan peraturan daerah Provinsi Kepulauan Riau Nomor 1 Tahun 2014, tentang Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepulauan Riau.
Adat kebiasaan yang selama ini telah diurus atau dilaksanakan oleh LAM Kepulauan Riau, antara lain; tata cara tentang upacara pernikahan/perkawinan, tari persembahan, tata cara tepung tawar, tata cara berpakaian, penggunaan/pemakaian tanda kehormatan, tata cara penghormatan kepada tamu dan lain sebagainya.
Maka tidak heran, disetiap kabupaten/kota se-Provinsi Kepulauan Riau telah dibentuk LAM Kepulauan Riau dengan masa khidmat kepengurusan tertentu. LAM Kepulauan Riau juga sebagai wadah pengembangan, pengkajian, pendidikan, sosialisasi dan pengkaderan masyarakat. LAM bertekad memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan bangsa, khususnya di Provinsi Kepulauan Riau tercinta.
Idealnya LAM menjadi rujukan bagi masyarakat Melayu, terutama dalam kehidupan sosial. Untuk itu pemuka-pemuka masyarakat yang duduk sebagai pengurus LAM dianggap sebagai orang-orang yang bijak dan dapat memberikan arahan bagi terciptanya hubungan yang harmonis di dalam kehidupan bermasyarakat di Provinsi Kepulauan Riau.
Selain itu, pihak pemerintahpun telah menempatkan LAM sebagai mitra dalam melaksanakan pembangunan. Apalagi mengingat objek pembangunan dan pelayanan masyarakat Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau berada di lingkungan mayoritas masyarakat Melayu.
Maka, idealnya dalam proses pengambilan kebijakan pun, LAM harus dijadikan tempat rujukan, karena Melayu adalah ‘tuan rumah’ bagi penyelenggaraan roda pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat di Provinsi Kepaulauan Riau.
Di sisi lain, LAM Kepulauan Riau tengah berjuang menegakkan marwah Melayu di negerinya sendiri. Mulai dari memasyarakatkan tata cara berpakaian adat yang tepat dan benar, tata cata bertutur sapa, menegakkan etika, moral dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari, sampai pada hal-hal yang bersifat khusus, seperti penempatan tempat duduk dalam setiap acara atau undangan, penggunaan gelar kehormatan dan sebagainya.
Di daerah yang menjunjung tinggi adat istiadat, selalu menempatkan pimpinan lembaga atau Ketua LAM pada tempat yang terhormat, sejajar dengan pimpinan tertinggi institusi atau kepala daerah di tempat tersebut. Maka tidak heran kalau dalam kegiatan resmi, tempat duduk ketua LAM selalu ditempatkan berdampingan dengan tempat duduk gubernur, bupati atau wali kota dan sebagainya.
Tentang gelar kehormatan, meskipun telah resmi diatur dengan peraturan LAM, namun dalam kehidupan sehari-hari masih canggung untuk digunakan di kalangan masyarakat luas. LAM idealnya harus mengukuhkan gelar kehormatan bagi kepala daerah baik gubernur, bupati maupun wali kota, sebagai Dato’ Setia Amanah.
Secara ex officio, Ketua Umum LAM Provinsi Kepri otomatis mendapat gelar Dato’ Seri Setia Utama. Sekretaris Umum LAM Provinsi Kepri pun bergelar Dato’ Seri Wira Setia Laksana. Seperti gelar yang melekat pada nama Dato’ Seri Setia Utama, H. Abdul Razak, AB (Ketua Umum LAM Provinsi Kepri) dan Dato’ Seri Wira Setia Laksana. H. Raja Alhafiz, SE (Sekretaris Umum LAM Propinsi Kepri).
Berdaraskan peraturan LAM Kepuluan Riau, nomor Tahun 2019, dewan pimpinan harian LAM kabupaten/kota pun dianugrahi gelar kehormatan sebagai Dato’(baca: Datouk). Antara lain; Ketua Umum LAM kabupaten/kota dianugrahi gelar Dato’ Wira Setia Utama, Sekretaris Umum mendapat gelar Dato’ Setia Laksana, dan Bendahara Umum dianugrahi gelar Dato’ Setia Bendahari.
Sementara para ketua lainnya (di bawah ketua umum), misalnya para wakil ketua secara otomatis bergelar Dato’ Setia Utama. Sedangkan pengurus lainnya seperti ketua-ketua bidang dan anggotanya dianugrahi gelar Dato’ Setia Perdana. Di tingkat kecamatan, ketua umum dianugrahi gelar Dato’ Setia dan pengurus lainnya termasuk ketua/pengurus tingkat desa/kelurahan mendapat gelar Dato’.
Gelar kehormatan yang dianugrahi LAM Kepulaun Riau ini tidak hanya kepada dewan pimpinan harian, namun juga dianugrahi kepada istri maupun suami para pengurus. Istri ketua umum dianugrahi gelar Datin Wira dan istri para ketua, sekretaris, bendahara dan pengurus lainnya diberikan gelar Datin Setia. Bagi pengurus wanita, suaminya dianugrahi gelar Tuan Setia.
Merujuk Pasal 14 (angka 9) dan Pasal 15 (angka 6) Peraturan LAM Provinsi Kepulauan Riau nomor 1 tahun 2019, bagi pengurus LAM tingkat kabupaten/Kota, kecamatan maupun desa/kelurahan yang yang telah menyandang gelar adat tersebut, tetap melekat pada dirinya walaupun tidak lagi menjabat sebagai pengurus. Kecuali berubah posisi dalam kepengurusan, maka gelarnya akan mengikuti gelar pada posisi yang baru.
Dari kasat mata penulis, sebagaian besar pemerintah daerah belum menempatkan posisi LAM sebagaimana mestinya. Jangankan untuk membiasakan penyebutan gelar kehormatan, untuk memposisikan tempat duduk ketua adat pada tempat yang tepat dalam setiap undangan pun terkadang diabaikan. Padahal perbuatan ini menunjukkan jati diri bahwa pemerintah daerah berada pada posisi yang menjunjung tinggi marwah dan adat istiadat. Wallahu A’lam Bishawab !.*
Komentar