No Result
View All Result
  • Tentang Kami
  • Contact
  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Siber
Minggu, 7 Desember 2025
Ranai Pos
  • Home
  • Nasional
  • Natuna
  • Anambas
  • Seputar Kepri
    • All
    • Batam
    • Bintan
    • Karimun
    • Lingga
    • Tanjungpinang
    Banjir Rob Meningkat, Warga Pesisir Tanjungpinang Diminta Waspada hingga 13 Desember

    Banjir Rob Meningkat, Warga Pesisir Tanjungpinang Diminta Waspada hingga 13 Desember

    Polwan Polres Bintan Gelar Jumat Berkah, Beri Dukungan untuk Lansia Penderita Stroke di Kawal

    Polwan Polres Bintan Gelar Jumat Berkah, Beri Dukungan untuk Lansia Penderita Stroke di Kawal

    Patroli Bea Cukai Batam Kejar Kapal di Malam Hari, 371 Ribu Batang Rokok Ilegal Berhasil Diamankan

    Patroli Bea Cukai Batam Kejar Kapal di Malam Hari, 371 Ribu Batang Rokok Ilegal Berhasil Diamankan

  • Wisata
  • Opini
  • Galeri Foto
  • Iklan
  • Home
  • Nasional
  • Natuna
  • Anambas
  • Seputar Kepri
    • All
    • Batam
    • Bintan
    • Karimun
    • Lingga
    • Tanjungpinang
    Banjir Rob Meningkat, Warga Pesisir Tanjungpinang Diminta Waspada hingga 13 Desember

    Banjir Rob Meningkat, Warga Pesisir Tanjungpinang Diminta Waspada hingga 13 Desember

    Polwan Polres Bintan Gelar Jumat Berkah, Beri Dukungan untuk Lansia Penderita Stroke di Kawal

    Polwan Polres Bintan Gelar Jumat Berkah, Beri Dukungan untuk Lansia Penderita Stroke di Kawal

    Patroli Bea Cukai Batam Kejar Kapal di Malam Hari, 371 Ribu Batang Rokok Ilegal Berhasil Diamankan

    Patroli Bea Cukai Batam Kejar Kapal di Malam Hari, 371 Ribu Batang Rokok Ilegal Berhasil Diamankan

  • Wisata
  • Opini
  • Galeri Foto
  • Iklan
No Result
View All Result
Ranai Pos
No Result
View All Result

Gedung Baru DPRD Natuna : Ambisi Eksekutif Menjerat Legislatif di Tengah Lumpur Kepentingan dan Tambang Ilegal

rapi by rapi
24/10/2025 7:34 AM
in Natuna, Opini
0
Proyek Pembangunan Gedung DPRD Natuna terbengkalai peninggalan kepemimpinan Bupati Natuna Ilyas Sabli periode 2011 -2016

Proyek Pembangunan Gedung DPRD Natuna terbengkalai peninggalan kepemimpinan Bupati Natuna Ilyas Sabli periode 2011 -2016

0
SHARES
526
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

EDITORIAL _ www.ranaipos.com : Gelombang politik anggaran di Natuna kembali bergejolak. Rencana lanjutan pembangunan gedung baru DPRD Kabupaten Natuna yang batal diteken pada Selasa (21/10/2025) lalu ternyata menyimpan aroma ambisi yang lebih dalam dari sekadar proyek fisik. Di balik layar, terselip dugaan siasat politik yang berupaya “menjerat” lembaga legislatif dengan iming-iming pembangunan lanjutan, seraya menutup mata terhadap praktik tambang ilegal yang terus menari di atas aturan hukum.

Undangan rapat paripurna DPRD Natuna, Penandatanganan kesepakatan bersama antara Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna dan DPRD Natuna tentang Kontrak Tahunan Jamak Lanjutan Pembangunan Gedung DPRD Kabupaten Natuna
Undangan rapat paripurna DPRD Natuna, Penandatanganan kesepakatan bersama antara Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna dan DPRD Natuna tentang Kontrak Tahunan Jamak Lanjutan Pembangunan Gedung DPRD Kabupaten Natuna

Para pemangku kebijakan di ruang megah itu justru sempat berencana menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) pembangunan lanjutan gedung baru DPRD Natuna yang lama terbengkalai. Untung saja, akal sehat sebagian anggota dewan masih bekerja.

Pembatalan mendadak rencana MoU itu menjadi bukti bahwa tidak semua pejabat lupa daratan. Ketua Komisi II DPRD Natuna, Andes Putra, dengan tegas menyebut bahwa proyek itu belum menjadi kebutuhan mendesak. Dengan bahasa sederhana namun menohok, ia mengatakan “Penting, tapi belum urgen.” Kalimat yang seharusnya menjadi cermin bagi setiap pengambil kebijakan di negeri laut sakti rantau bertuah tersebut.

Fakta di lapangan menunjukkan, kondisi fiskal daerah sedang seret. Transfer dana pusat makin menipis, PAD tak juga melonjak. Dalam situasi seperti ini, wacana lanjutan pembangunan gedung baru DPRD justru muncul tanpa pembahasan matang. Tiba-tiba ada agenda MoU, tanpa melalui mekanisme rapat resmi bersama Dinas PU. Sebuah praktik birokrasi yang menimbulkan tanda tanya besar, siapa yang menginginkan proyek ini, dan untuk kepentingan siapa?

Baca Juga

KKN STAI Natuna 2025 Resmi Dilepas, 19 Mahasiswa Siap Mengabdi di Pulau Seluan

STAI Natuna Lepaskan 92 Mahasiswa KKN 2025, Siap Mengabdi di 10 Desa

Tender proyek pembangunan Gedung Bayangkari Polres Natuna senilai Rp. 750.000.000,00 (sumber data _lembaga kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah (LKPP) aplikasi SPSE @2026-2025)
Tender proyek pembangunan Gedung Bayangkari Polres Natuna senilai Rp. 750.000.000,00 (sumber data _lembaga kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah (LKPP) aplikasi SPSE @2026-2025)

Ketua Komisi II DPRD Natuna, Andes Putra yang menjadi salah satu suara lantang menolak rencana itu. Baginya, wacana gedung baru hanyalah kamuflase atas kebijakan yang belum menyentuh akar persoalan rakyat. Dengan kondisi fiskal daerah yang terbatas dan ekonomi masyarakat yang masih lesu, pembangunan lanjutan gedung megah itu justru tampak seperti pesta di tengah reruntuhan dapur rakyat.

Ketua DPRD, Rusdi memang mencoba menenangkan suasana. Katanya, MoU itu sekadar mengunci angka, bukan berarti pembangunan langsung dimulai. Tapi masyarakat tentu tahu, dari pengalaman panjang setiap “mengunci angka” biasanya berujung pada proyek yang pelan-pelan jadi kenyataan. Apalagi jika sudah ada kepentingan yang menekan dari belakang layar.

Sekda Natuna, Boy Wijanarko, kemudian menegaskan tidak ada MoU apa pun hari itu. Hanya pembahasan KUA-PPAS, katanya, dikutip dari areinamedia.com, Rabu, 22 Oktober 2025 – 09:02. Baiklah, rakyat boleh sedikit lega. Tapi rasa was-was itu belum sepenuhnya hilang. Karena dalam politik anggaran, yang batal hari ini bisa kembali besok dalam bentuk lain.

Ironisnya, ketika rakyat menjerit karena ekonomi lesu, hutang pihak ke tiga masih marat marit serta infrastruktur dasar masih bolong sana-sini, justru yang hendak “dibangun megah” adalah gedung tempat para wakil rakyat duduk nyaman. Bukankah seharusnya gedung itu menjadi simbol pelayanan, bukan kemewahan?

Aroma politik transaksional ini mulai tercium. Di antara pembahasan KUA-PPAS, terselip narasi pembangunan sejumlah fasilitas yang disebut-sebut sebagai bentuk “perhatian” pemerintah daerah kepada instansi vertikal yang sedang dikerjakan. Polres Natuna dianggarkan pembangunan Gedung Bhayangkari senilai Rp. 750.000.000,00, sementara Kejaksaan Negeri Natuna memperoleh peningkatan fasilitas gedung sebesar Rp. 850.000.000,00 melalui APBD tahun 2025. Semua tampak indah di atas kertas, namun ketika ditelisik lebih dalam, muncul pertanyaan besar, di mana prioritas sesungguhnya?

Tender proyek peningkatan Gedung Kejaksaan Negeri Natuna senilai Rp. 850.000.000,00 (sumber data _lembaga kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah (LKPP) aplikasi SPSE @2026-2025)
Tender proyek peningkatan Gedung Kejaksaan Negeri Natuna senilai Rp. 850.000.000,00 (sumber data _lembaga kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah (LKPP) aplikasi SPSE @2026-2025)

Langkah-langkah ambisius ini seakan menjadi bagian dari strategi besar sang kepala daerah untuk memperkuat posisi dan simpati dari lembaga-lembaga strategis, sekaligus melicinkan jalan politiknya di awal masa jabatan untuk menggarap kekuasaan dan anggaran kebijakan tampa ada penghalang. Sebab, proyek-proyek itu tak lepas dari satu persoalan krusial, sumber material pembangunan yang berasal dari tambang galian C alias tambang rakyat yang tak berizin.

Persoalan izin material tambang ini seolah dibiarkan menggantung, menjadi sandera politik sekaligus tameng alias bemper kekuasaan. Ketika rakyat kecil penambang dipersulit izin, material hasil galian ilegal justru mengalir deras ke proyek-proyek pembangunan daerah. Ironinya, aktivitas tanpa izin itu seolah mendapat pembenaran diam-diam dari kekuasaan yang menikmati hasilnya.

Begitulah politik anggaran di Natuna hari ini. Bercampur antara ambisi, kepentingan, dan keberpihakan yang kabur. Rencana lanjutan gedung baru DPRD Natuna hanyalah salah satu dari sekian simbol tentang bagaimana kekuasaan mencoba mengatur arah pembangunan tanpa transparansi. Masyarakat yang mestinya diuntungkan malah dijadikan penonton dari panggung besar yang dimainkan oleh elite-elite kekuasaan.

Rakyat tentu masih ingat, bagaimana janji untuk menyejahterakannya, membuka lapangan kerja, dan memperbaiki infrastruktur dasar selalu digaungkan. Tapi kini, yang justru diutamakan adalah proyek-proyek yang lebih banyak menguntungkan para pemangku kepentingan daripada masyarakat bawah.

Jika ini terus dibiarkan, maka pembangunan Natuna akan kehilangan ruhnya. Pemerintah daerah seolah berubah menjadi broker proyek, bukan pelayan rakyat. Dan para wakil rakyat yang semestinya menjadi pengawas justru dijerat dengan iming-iming kenyamanan gedung baru.

Ketika Himbauan Jaksa Diabaikan, Tambang Ilegal Dibiarkan, Kepentingan Dilegalkan

Di tengah derasnya sorotan publik terhadap polemik rencana lanjutan pembangunan gedung baru DPRD Natuna, satu persoalan serius justru luput dari perhatian. Tambang rakyat atau galian C tanpa izin yang kian marak dan seolah mendapat perlindungan diam-diam dari kekuasaan. Padahal, Kejaksaan Negeri Natuna telah jauh-jauh hari mengeluarkan himbauan resmi kepada Pemerintah Daerah agar memberi perhatian khusus terhadap aktivitas tambang ilegal tersebut, namun sayangnya, peringatan hukum itu seperti angin lalu yang tak pernah dianggap penting.

Sumber dari ranaipos.com menyebut, Kejaksaan telah menegaskan bahwa aktivitas tambang galian C tanpa izin bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga merugikan daerah dari sisi lingkungan dan pendapatan asli daerah (PAD). Material tambang yang diambil tanpa izin, menurut hukum, tidak boleh digunakan dalam proyek-proyek pemerintah. Namun realitas di lapangan justru berkata lain.

Proyek-proyek pembangunan fisik yang dibiayai dari APBD Natuna tahun 2025 termasuk sejumlah pembangunan fasilitas gedung instansi vertikal tersebut diduga kuat masih menggunakan material dari tambang yang belum mengantongi legalitas. Ironisnya, pemerintah daerah terkesan menutup mata, seolah-olah persoalan ini bukan tanggung jawab mereka.

Sementara itu, masyarakat penambang kecil justru menjadi tameng dalam praktik ini. Ketika aparat penegak hukum mengingatkan agar izin ditertibkan, mereka didorong untuk diam dengan alasan “tambang rakyat” adalah bentuk kearifan lokal. Padahal, di balik istilah “tambang rakyat” itu, banyak pihak kuat yang mengambil keuntungan besar, sementara rakyat kecil hanya menjadi pekerja lapangan yang menanggung risiko hukum dan keselamatan.

Kejaksaan Natuna, melalui berbagai forum resmi, telah mengingatkan bahwa pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan dan penertiban sesuai peraturan. Namun sikap diam pemerintah menimbulkan kesan adanya pembiaran sistematis. Himbauan jaksa seolah tak memiliki bobot di hadapan kepentingan proyek dan ambisi politik kepala daerah.

Tak berlebihan jika publik menilai bahwa tambang ilegal kini telah berubah fungsi, bukan lagi sekadar sumber material, tapi juga alat tawar politik dan pelindung kepentingan proyek-proyek daerah. Ketika izin tidak ditegakkan, dan hukum dianggap bisa dinegosiasikan, maka pembangunan yang dijalankan sesungguhnya tidak lagi berpijak pada aturan, melainkan pada “restu kekuasaan.”

Dalam situasi seperti ini, moral birokrasi dan wibawa hukum berada di ujung tanduk. Pemerintah daerah mestinya menjadi contoh dalam ketaatan hukum, bukan malah mempermainkan celah aturan untuk kepentingan sesaat. Jika himbauan kejaksaan saja diabaikan, kepada siapa lagi masyarakat harus berharap keadilan ditegakkan?

Natuna, yang dikenal sebagai negeri kaya sumber daya laut dan tambang, kini justru terancam menjadi negeri kaya pelanggaran tapi miskin ketegasan. Dan selama hukum hanya dijadikan slogan, maka tambang ilegal akan terus beroperasi, bukan karena rakyat tak paham aturan, tapi karena pemerintahnya sendiri memilih untuk pura-pura buta.

Dalam situasi seperti ini, masyarakat Natuna harus lebih waspada dan kritis. Sebab di balik janji pembangunan yang manis, bisa jadi sedang disusun rencana besar yang justru menjerumuskan daerah ke jurang ketergantungan dan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.

Karena sejatinya, pembangunan tanpa izin dan nurani hanyalah pondasi dari ketidakadilan. Dan gedung megah yang dibangun dari material tambang ilegal tidak lebih dari monumen keserakahan berdiri tegak di atas penderitaan rakyatnya sendiri.***

 

Oleh : redaksi-ranaipos.com

Editor : Rapi

Komentar

Berita Terkini

Penyerahan mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Natuna di Kecamatan Pulau Seluan, Kabupaten Natun

KKN STAI Natuna 2025 Resmi Dilepas, 19 Mahasiswa Siap Mengabdi di Pulau Seluan

1 jam lalu

Bupati Aneng Tinjau Banjir Rob di Jalan Patimura, Minta Tim Tetap Siaga Hingga Air Surut

Pemkab Anambas Gelar Patroli Malam Antisipasi Banjir Rob, Personel Disebar di Titik Rawan

Pemkab Anambas Perkuat Kesiapsiagaan Hadapi Potensi Banjir Rob, Bupati Aneng Adakan Rapat

Banjir Rob Meningkat, Warga Pesisir Tanjungpinang Diminta Waspada hingga 13 Desember

Ranai Pos

Follow Us

  • Home
  • Nasional
  • Natuna
  • Seputar Kepri
  • Wisata
  • Opini
  • Galeri Foto
  • Tentang Kami
  • Contact
  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018 Ranai Pos. All Rights Reserved. Designed by Universal Webstudio

No Result
View All Result
  • Home
  • Nasional
  • Natuna
  • Seputar Kepri
  • Wisata
  • Opini
  • Galeri Foto
  • Iklan
  • Tentang Ranai Pos
  • Contact
  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018 Ranai Pos. All Rights Reserved. Designed by Universal Webstudio

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In